Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perjalanan Apostolik Paus Fransiskus dan Makna Pidatonya yang Mencuri Perhatian

5 September 2024   20:46 Diperbarui: 6 September 2024   07:18 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

#1

Paus Fransiskus menjadi Paus ketiga negara Vatikan yang mengunjungi Indonesia.

Sumber beberapa media mencatat, Paus Paulus VI melakukan hal yang sama dengan mengunjungi Indonesia pada tahun 1970 dan Paus Yohanes Paulus II pada Oktober 1989. 

Seorang kepala negara mengunjungi sebuah negara, mungkin terdengar lazim. Tapi, jika seorang Paus yang melakukannya, itu beda cerita. 

Baca juga:

Menyelami Makna Adagium "Vox Populi Vox Dei"

Kunjungan seorang Paus bukan kunjungan orang biasa; yang datang adalah seorang kepala negara sekaligus seorang pemimpin tertinggi dari salah satu agama terbanyak di dunia.

Kunjungannya pun disebut sebagai perjalanan Apostolik atau perjalanan kerasulan (baca: yang dapat ditinjau dari dua sisi yakni sisi spiritual karena dilakukan untuk bertemu umat seiman Katolik di negara-negara yang dikunjungi dan sisi kenegaraan yang membawa visi perdamaian dunia karena mengandung nilai-nilai kemanusiaan). 

#2

Sudah terlalu banyak narasi atas kunjungan lawatan apostolik Paus Fransiskus ini; yang menggambarkan betapa ia adalah sosok yang sederhana: terbang hanya dengan pesawat komersil maskapai penerbangan Italia bukan pesawat Kepresidenan, dijemput hanya dengan Innova Zenix bukan Mercy, hingga sepatu yang mulai terlihat tua dan jam tangan dengan tampilan sederhana. 

Laku hidup yang dijalani Paus Fransiskus benar-benar meneladani Santo Fransiskus dari Asisi (1181-1126 M); sekaligus dapat menjadi "pilihan" lain yang tak biasa bagi para pemimpin dunia untuk melakukan tugas-tugas kenegaraannya.

Sekali lagi, jangan lupakan, Paus Katolik juga adalah seorang kepala negara; Kepala tertinggi dari negara Takhta Suci Vatikan. 

#3

Indonesia menjadi negara pertama di kawasan Asia Pasifik yang menjadi agenda untuk dikunjungi oleh Paus yang bernama asli Jorge Mario Bergoglio tersebut sebelum ia nantinya bertolak ke Papua Nugini, Timor Leste, dan terakhir ke Singapura. 

Merujuk web resmi Kementerian Agama Republik Indonesia, sinyal kedatangan Paus ini bahkan sudah terdengar sejak April yang lalu. Riuh kedatangan Paus bahkan menjadi trending di jagat media sosial beberapa hari terakhir. 

Baca juga:

X (Twitter) di Antara Tone Deaf dan Kritik Sosial

Bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan—terlebih lagi bagi umat Katolik—kunjungan apostolik Paus Fransiskus bagai oase di tengah padang gurun; seperti kita tahu—bahkan kita bisa menyaksikan sendiri—bagaimana Indonesia terpolarisasi hari-hari ini hanya karena "ulah" beberapa penyelenggara negara (beserta keluarga dan kroni-kroninya); belum lagi macam-macam kegaduhan politik imbas pemilihan umum (baca: termasuk Pilpres dan Pilkada).

Baca juga:

Budaya Malu dan Keterwakilan Rakyat 

Paus Fransiskus terlihat membaca isi pidatonya. (Sumber: Kompas.com) 
Paus Fransiskus terlihat membaca isi pidatonya. (Sumber: Kompas.com) 

#4

Sengaja saya sedikit menahan diri untuk tidak buru-buru menulis menyoal kunjungan apostolik Paus Fransiskus ini karena saya memang menunggu "sesuatu" yang penting darinya—sesuatu itu adalah pidato Paus itu sendiri.

Pidato resmi Paus yang dibacakannya itu (baca: dibaca di hadapan Presiden Jokowi, beberapa pejabat dan masyarakat sipil) bahkan sengaja saya salin secara keseluruhan dari sebuah artikel yang dimuat di Kompas.com—karena bagi saya ini adalah "GONG"nya. 

Sesuai yang saya duga, memang ada sesuatu yang penting di balik pidato Paus Fransiskus. 

#5

Sebagai seseorang yang menyelesaikan studi di bidang humaniora sudah barang tentu sisi humanis Paus Fransiskus tidak perlu diragukan lagi. Setidaknya itu terlihat dari isi pidato beliau. 

Namun, secara garis besar Paus berbicara tentang bagaimana menghargai keberagaman dan menghormati perbedaan—termasuk perbedaan dalam pilihan politik.

Baca juga:

Riuh Pilkada: Rakyat dan Akrobat Politik Para Elit

Sulit secara pribadi bagi saya mencari celah di mana tidak berbobotnya keseluruhan isi pidato Paus Fransiskus, yang jujur saya katakan setiap kata per katanya mengandung makna dan nilai— sekaligus tentu saja menohok untuk cermin refleksi bagi siapapun yang mendengarnya. 

Di berbagai daerah kita menyaksikan munculnya konflik-konflik kekerasan, yang seringkali adalah akibat kurangnya sikap saling menghargai, dan dari keinginan intoleran untuk memaksakan kepentingan sendiri, posisi sendiri dan narasi historis sepihak dengan segala upaya, bahkan kalaupun hal ini membawa kepada penderitaan tiada akhir bagi seluruh komunitas dan berujung pada peperangan dan banyak pertumpahan darah.

Tulisan di atas adalah penggalan dari isi pidato sang Paus yang ditahbiskan sejak 2013 itu; betapa terus terang dan tanpa kepentingan. 

Bahkan Paus Fransiskus juga mengutip pidato Paus Yohanes Paulus II yang mengunjungi Indonesia 35 tahun silam. 

"Dengan mengakui kehadiran keanekaragaman yang sah dengan menghargai hak-hak manusia dan politik dari semua warga, dan dengan mendorong pertumbuhan persatuan nasional berlandaskan toleransi dan sikap saling menghargai terhadap orang lain, anda meletakkan pondasi bagi masyarakat yang adil dan damai, yang diinginkan semua warga Indonesia untuk diri mereka sendiri dan rindu untuk diwariskan kepada anak-anak mereka."

Dari pidatonya tersebut, Paus Fransiskus seolah mengingatkan bahwa kesewenang-wenangan hanya akan menciptakan banyak keburukan di masa depan—apalagi jika itu dilakukan oleh seorang penyelenggara negara atau calon penyelenggara negara—atau oleh mereka yang berwenang membuat kebijakan; ia (baca: kesewenang-wenangan) tentu lahir dari keinginan mementingkan diri sendiri atau menyenangkan sebagian golongan—bukan untuk kemaslahatan banyak orang (baca: rakyat). 

Bagi saya sendiri, perjalanan apostolik Paus ini sangat tepat waktunya di situasi Indonesia hari-hari ini yang tampaknya kian kacau. Saya patut mensyukuri Indonesia menjadi salah satu negara yang terpilih. 

Diluar dari tugasnya sebagai seorang imam umat Katolik dan kemudian kesederhanaannya yang menjadi sorotan, Paus Fransiskus secara utuh membawa dirinya sebagai cermin realitas dari sebuah harapan dan kebaikan; ia adalah salah satu simbol dari kerja-kerja kemanusiaan untuk perdamaian dunia. 

Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun