Sebagai seseorang yang menyelesaikan studi di bidang humaniora sudah barang tentu sisi humanis Paus Fransiskus tidak perlu diragukan lagi. Setidaknya itu terlihat dari isi pidato beliau.Â
Namun, secara garis besar Paus berbicara tentang bagaimana menghargai keberagaman dan menghormati perbedaan—termasuk perbedaan dalam pilihan politik.
Baca juga:
Riuh Pilkada: Rakyat dan Akrobat Politik Para Elit
Sulit secara pribadi bagi saya mencari celah di mana tidak berbobotnya keseluruhan isi pidato Paus Fransiskus, yang jujur saya katakan setiap kata per katanya mengandung makna dan nilai— sekaligus tentu saja menohok untuk cermin refleksi bagi siapapun yang mendengarnya.Â
Di berbagai daerah kita menyaksikan munculnya konflik-konflik kekerasan, yang seringkali adalah akibat kurangnya sikap saling menghargai, dan dari keinginan intoleran untuk memaksakan kepentingan sendiri, posisi sendiri dan narasi historis sepihak dengan segala upaya, bahkan kalaupun hal ini membawa kepada penderitaan tiada akhir bagi seluruh komunitas dan berujung pada peperangan dan banyak pertumpahan darah.
Tulisan di atas adalah penggalan dari isi pidato sang Paus yang ditahbiskan sejak 2013 itu; betapa terus terang dan tanpa kepentingan.Â
Bahkan Paus Fransiskus juga mengutip pidato Paus Yohanes Paulus II yang mengunjungi Indonesia 35 tahun silam.Â
"Dengan mengakui kehadiran keanekaragaman yang sah dengan menghargai hak-hak manusia dan politik dari semua warga, dan dengan mendorong pertumbuhan persatuan nasional berlandaskan toleransi dan sikap saling menghargai terhadap orang lain, anda meletakkan pondasi bagi masyarakat yang adil dan damai, yang diinginkan semua warga Indonesia untuk diri mereka sendiri dan rindu untuk diwariskan kepada anak-anak mereka."
Dari pidatonya tersebut, Paus Fransiskus seolah mengingatkan bahwa kesewenang-wenangan hanya akan menciptakan banyak keburukan di masa depan—apalagi jika itu dilakukan oleh seorang penyelenggara negara atau calon penyelenggara negara—atau oleh mereka yang berwenang membuat kebijakan; ia (baca: kesewenang-wenangan) tentu lahir dari keinginan mementingkan diri sendiri atau menyenangkan sebagian golongan—bukan untuk kemaslahatan banyak orang (baca: rakyat).Â
Bagi saya sendiri, perjalanan apostolik Paus ini sangat tepat waktunya di situasi Indonesia hari-hari ini yang tampaknya kian kacau. Saya patut mensyukuri Indonesia menjadi salah satu negara yang terpilih.Â
Diluar dari tugasnya sebagai seorang imam umat Katolik dan kemudian kesederhanaannya yang menjadi sorotan, Paus Fransiskus secara utuh membawa dirinya sebagai cermin realitas dari sebuah harapan dan kebaikan; ia adalah salah satu simbol dari kerja-kerja kemanusiaan untuk perdamaian dunia.Â
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H