Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perjalanan Apostolik Paus Fransiskus dan Makna Pidatonya yang Mencuri Perhatian

5 September 2024   20:46 Diperbarui: 6 September 2024   07:18 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paus Fransiskus (Sumber Instagram @Franciscus via Kompas.com) 

Sebagai seseorang yang menyelesaikan studi di bidang humaniora sudah barang tentu sisi humanis Paus Fransiskus tidak perlu diragukan lagi. Setidaknya itu terlihat dari isi pidato beliau. 

Namun, secara garis besar Paus berbicara tentang bagaimana menghargai keberagaman dan menghormati perbedaan—termasuk perbedaan dalam pilihan politik.

Baca juga:

Riuh Pilkada: Rakyat dan Akrobat Politik Para Elit

Sulit secara pribadi bagi saya mencari celah di mana tidak berbobotnya keseluruhan isi pidato Paus Fransiskus, yang jujur saya katakan setiap kata per katanya mengandung makna dan nilai— sekaligus tentu saja menohok untuk cermin refleksi bagi siapapun yang mendengarnya. 

Di berbagai daerah kita menyaksikan munculnya konflik-konflik kekerasan, yang seringkali adalah akibat kurangnya sikap saling menghargai, dan dari keinginan intoleran untuk memaksakan kepentingan sendiri, posisi sendiri dan narasi historis sepihak dengan segala upaya, bahkan kalaupun hal ini membawa kepada penderitaan tiada akhir bagi seluruh komunitas dan berujung pada peperangan dan banyak pertumpahan darah.

Tulisan di atas adalah penggalan dari isi pidato sang Paus yang ditahbiskan sejak 2013 itu; betapa terus terang dan tanpa kepentingan. 

Bahkan Paus Fransiskus juga mengutip pidato Paus Yohanes Paulus II yang mengunjungi Indonesia 35 tahun silam. 

"Dengan mengakui kehadiran keanekaragaman yang sah dengan menghargai hak-hak manusia dan politik dari semua warga, dan dengan mendorong pertumbuhan persatuan nasional berlandaskan toleransi dan sikap saling menghargai terhadap orang lain, anda meletakkan pondasi bagi masyarakat yang adil dan damai, yang diinginkan semua warga Indonesia untuk diri mereka sendiri dan rindu untuk diwariskan kepada anak-anak mereka."

Dari pidatonya tersebut, Paus Fransiskus seolah mengingatkan bahwa kesewenang-wenangan hanya akan menciptakan banyak keburukan di masa depan—apalagi jika itu dilakukan oleh seorang penyelenggara negara atau calon penyelenggara negara—atau oleh mereka yang berwenang membuat kebijakan; ia (baca: kesewenang-wenangan) tentu lahir dari keinginan mementingkan diri sendiri atau menyenangkan sebagian golongan—bukan untuk kemaslahatan banyak orang (baca: rakyat). 

Bagi saya sendiri, perjalanan apostolik Paus ini sangat tepat waktunya di situasi Indonesia hari-hari ini yang tampaknya kian kacau. Saya patut mensyukuri Indonesia menjadi salah satu negara yang terpilih. 

Diluar dari tugasnya sebagai seorang imam umat Katolik dan kemudian kesederhanaannya yang menjadi sorotan, Paus Fransiskus secara utuh membawa dirinya sebagai cermin realitas dari sebuah harapan dan kebaikan; ia adalah salah satu simbol dari kerja-kerja kemanusiaan untuk perdamaian dunia. 

Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun