Indonesia menjadi negara pertama di kawasan Asia Pasifik yang menjadi agenda untuk dikunjungi oleh Paus yang bernama asli Jorge Mario Bergoglio tersebut sebelum ia nantinya bertolak ke Papua Nugini, Timor Leste, dan terakhir ke Singapura.Â
Merujuk web resmi Kementerian Agama Republik Indonesia, sinyal kedatangan Paus ini bahkan sudah terdengar sejak April yang lalu. Riuh kedatangan Paus bahkan menjadi trending di jagat media sosial beberapa hari terakhir.Â
Baca juga:
X (Twitter) di Antara Tone Deaf dan Kritik Sosial
Bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan—terlebih lagi bagi umat Katolik—kunjungan apostolik Paus Fransiskus bagai oase di tengah padang gurun; seperti kita tahu—bahkan kita bisa menyaksikan sendiri—bagaimana Indonesia terpolarisasi hari-hari ini hanya karena "ulah" beberapa penyelenggara negara (beserta keluarga dan kroni-kroninya); belum lagi macam-macam kegaduhan politik imbas pemilihan umum (baca: termasuk Pilpres dan Pilkada).
Baca juga:
Budaya Malu dan Keterwakilan RakyatÂ
#4
Sengaja saya sedikit menahan diri untuk tidak buru-buru menulis menyoal kunjungan apostolik Paus Fransiskus ini karena saya memang menunggu "sesuatu" yang penting darinya—sesuatu itu adalah pidato Paus itu sendiri.
Pidato resmi Paus yang dibacakannya itu (baca: dibaca di hadapan Presiden Jokowi, beberapa pejabat dan masyarakat sipil) bahkan sengaja saya salin secara keseluruhan dari sebuah artikel yang dimuat di Kompas.com—karena bagi saya ini adalah "GONG"nya.Â
Sesuai yang saya duga, memang ada sesuatu yang penting di balik pidato Paus Fransiskus.Â
#5