Seperti yang baru-baru ini terjadi, menyoal aksi tuntutan para driver ojek online (ojol) yang terjadi di depan patung kuda, Jakarta Pusat;
atau aksi demonstrasi elemen masyarakat di depan gedung anggota dewan pada Kamis, 22 Agustus 2024 yang lalu (baca: yang pada praktiknya di lapangan dimotori oleh para mahasiswa yang terjadi pula di beberapa daerah di Indonesia) yang dipantik oleh "ulah" DPR yang ingin menganulir putusan MK menyoal Pilkada (yang muncul dengan label Peringatan Darurat);
Baca juga:
Budaya Malu dan Keterwakilan RakyatÂ
keduanya adalah salah dua dari contoh tone deaf yang memanen kritik sosial: contoh pertama kritik sosial yang bersifat ekonomi dan yang kedua bersifat moral yang berbungkus politik.Â
Baca juga:
Riuh Pilkada: Rakyat dan Akrobat Politik Para Elit
#5
Menyoal politik sendiri, mungkin kita akan sepakat bahwa tahun politik kali ini adalah tahun yang "keras" dan penuh kejutan di mana kontestasi terbilang sengit demi mendapatkan suara rakyat; yang bisa pula menjadi refleksi bagi rakyat bagaimana kepekaan para calon penyelenggara negara dapat dilihat.
Sebagai contoh, dengan banyaknya baliho-baliho calon penyelenggara yang dengan mudah dapat dijumpai di banyak tempat-tempat umum.
Selain karena baliho-baliho tersebut merusak estetika pemandangan, kritik sosial yang bisa disampaikan salah satunya betapa tidak efektifnya gaya komunikasi politik seperti itu (baca: hanya berisi wajah dan slogan-slogan) karena tidak menjelaskan visi-misi secara konkret dari seorang calon penyelenggara negara itu sendiri;
atau dengan kata lain, adakah pemilihan desain visual dan strategi yang lebih cerdas dan informatif selain dari itu?
#6
Kritik muncul bukan tanpa sebab; ia hadir karena ada sesuatu yang menjadi masalah;
dan menyoal kritik sosial di tahun politik seperti sekarang ini, ia berfungsi sebagai bentuk pengawasan dan atau penyalahgunaan kekuasaan.