Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu sosial-budaya dan gender | Kontak: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

X (Twitter) di Antara Tone Deaf dan Kritik Sosial

30 Agustus 2024   20:29 Diperbarui: 30 Agustus 2024   21:31 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampilan platform X (Sumber via Kompas.com) 

#1

Seorang user di akun platform X dalam cuitannya beberapa hari lalu bertanya menyoal adakah orang-orang yang tidak memiliki akun di TikTok—dan alasan apa yang membuat mereka tidak memilikinya? 

Sebagai orang yang tidak "bermain" TikTok, pertanyaan ini sangat relate bagi saya secara pribadi. Dulu saya berpendapat, TikTok adalah media sosial "alay" karena di awal kemunculannya kebanyakan penggunanya berisi orang-orang yang hanya doyan joged-joged.

Tapi, seiring berjalannya waktu, saya menemukan alasan lain mengapa saya tidak menjadi salah satu penggunanya (baca: hingga sekarang): TikTok terlalu "bising" bagi saya (saya lebih menyukai untuk tekun membaca dan X adalah media yang memiliki gaya komunikasi verbal). 

Mengapa saya tahu?

Karena apa yang terjadi di TikTok—serupa tapi tak sama—bisa pula saya lihat melalui fitur Reels di Instagram
(malah di awal-awal kemunculan Reels apa yang hype di TikTok oleh penggunanya "disambungkan" pula ke Reels);

Baca juga:

Tren Dumb Phone Menggugat Realitas

karenanya saya pun merasa MEMANG tidak perlu menggunakan TikTok sebagai salah satu media sosial. 

Dibandingkan Instagram, media sosial yang justru bisa dikatakan rutin saya pakai adalah Twitter yang sejak dibeli oleh Elon Musk berubah nama menjadi X.

#2

Ada alasan mengapa saya menyukai X sebagai media sosial. Bukan karena stereotype user X yang diidentikkan sebagai orang yang cerdas melainkan saya merasa platform ini adalah anti hero dari hampir semua platform media sosial. 

Tidak ada yang bisa menebak isu apa yang begitu disukai atau dibenci karena apapun yang riuh di X akan berpengaruh ke media sosial lain.

Di X pula, saya bisa tahu banyak informasi dari yang saya kira penting hingga yang tidak terlalu perlu mendapat perhatian (baca: hanya cukup tahu); 

di X, trending menjadi ACUAN (terhadap apa yang sedang hangat diperbincangkan banyak orang).

Di X, trending ini dengan cepat menyebar bagai virus; ia berantai dari satu akun ke akun lainnya. 

Tiap hari selalu saja ada bahasan baru, termasuk kasus-kasus "baru" yang terjadi di masyarakat seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga (kdrt), kasus kekerasan terhadap anak dan lain sebagainya. 

Baca juga:

Memutus Rantai KDRT pada Perempuan, Mungkinkah?

Ilustrasi dari seseorang yang cenderung tone deaf. (Sumber via Kompas.com) 
Ilustrasi dari seseorang yang cenderung tone deaf. (Sumber via Kompas.com) 

Baca juga:

Dari Daycare, Orang Tua Pekerja dan Masalah Sistemik di Dalamnya

Meski harus pandai-pandai dalam mencerna setiap berita yang lewat di timeline. Tapi ada satu hal penting yang pada akhirnya bisa saya pelajari dari platform media sosial yang sudah saya buat sejak tahun 2009 ini yakni bagaimana kritik sosial bisa dinarasikan untuk kemudian disampaikan pada khalayak. 

#3

Belakangan istilah Tone Deaf akrab di telinga kita. Secara harfiah, tone deaf berarti tuli nada. Namun, secara pemaknaan, ia merujuk pada seseorang yang sulit mengerti apa yang dirasakan orang lain (baca: tidak memiliki kepekaan).

Tone deaf kerap dialamatkan pada orang kaya atau pada mereka yang memiliki privilidge lebih dari kebanyakan orang;—

atau bisa pula saya tambahkan, tone deaf bisa mengacu pada mereka yang memiliki pengaruh untuk mengendalikan orang lain dengan relasi kuasa yang timpang (pejabat/penyelenggara negara?)

Bagi saya, tone deaf erat kaitannya dengan kritik, dan jika itu terjadi di ruang publik atau di masyarakat maka kritik ini menjadi kritik yang bersifat sosial; 

kritik sosialnya pun menjadi beragam mulai dari kritik sosial yang menyangkut moral, pendidikan, ekonomi, agama, politik—dan lain sebagainya.

#4

Di X sendiri, tone deaf—bisa saya katakan—dapat mudah diketahui; banyak ragam ketidakpekaan yang tersaji di media sosial ini.

Dengan banyaknya tone deaf yang dapat "diterjemahkan" berarti akan banyak pula menimbulkan masalah-masalah sosial—yang tentu saja tak lepas dari kritik sosial.

Seperti yang baru-baru ini terjadi, menyoal aksi tuntutan para driver ojek online (ojol) yang terjadi di depan patung kuda, Jakarta Pusat;

atau aksi demonstrasi elemen masyarakat di depan gedung anggota dewan pada Kamis, 22 Agustus 2024 yang lalu (baca: yang pada praktiknya di lapangan dimotori oleh para mahasiswa yang terjadi pula di beberapa daerah di Indonesia) yang dipantik oleh "ulah" DPR yang ingin menganulir putusan MK menyoal Pilkada (yang muncul dengan label Peringatan Darurat);

Baca juga:

Budaya Malu dan Keterwakilan Rakyat 

Demonstrasi termasuk wujud dari kritik sosial yang terjadi di masyarakat. (Foto oleh Fakhri Fadlurrohman | Sumber Kompas.id) 
Demonstrasi termasuk wujud dari kritik sosial yang terjadi di masyarakat. (Foto oleh Fakhri Fadlurrohman | Sumber Kompas.id) 

keduanya adalah salah dua dari contoh tone deaf yang memanen kritik sosial: contoh pertama kritik sosial yang bersifat ekonomi dan yang kedua bersifat moral yang berbungkus politik. 

Baca juga:

Riuh Pilkada: Rakyat dan Akrobat Politik Para Elit

#5

Menyoal politik sendiri, mungkin kita akan sepakat bahwa tahun politik kali ini adalah tahun yang "keras" dan penuh kejutan di mana kontestasi terbilang sengit demi mendapatkan suara rakyat; yang bisa pula menjadi refleksi bagi rakyat bagaimana kepekaan para calon penyelenggara negara dapat dilihat.

Sebagai contoh, dengan banyaknya baliho-baliho calon penyelenggara yang dengan mudah dapat dijumpai di banyak tempat-tempat umum.

Selain karena baliho-baliho tersebut merusak estetika pemandangan, kritik sosial yang bisa disampaikan salah satunya betapa tidak efektifnya gaya komunikasi politik seperti itu (baca: hanya berisi wajah dan slogan-slogan) karena tidak menjelaskan visi-misi secara konkret dari seorang calon penyelenggara negara itu sendiri;

atau dengan kata lain, adakah pemilihan desain visual dan strategi yang lebih cerdas dan informatif selain dari itu?

#6

Kritik muncul bukan tanpa sebab; ia hadir karena ada sesuatu yang menjadi masalah;

dan menyoal kritik sosial di tahun politik seperti sekarang ini, ia berfungsi sebagai bentuk pengawasan dan atau penyalahgunaan kekuasaan.

Dan demi menjaga keseimbangan tatanan hidup baik dalam bermasyarakat maupun tatanan hidup bernegara, masyarakat dinilai perlu untuk ikut mengontrol segala bentuk kritik sosial yang timbul. 

Namun, seperti ada pepatah Inggris yang mengatakan:

every cloud has a silver lining.

darinya kita pun belajar bahwa selalu ada hikmah dari setiap kejadian. 

Tabik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun