Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Simalakama Budaya Jalan Kaki di Indonesia

27 Agustus 2024   06:10 Diperbarui: 28 Agustus 2024   10:08 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jalan kaki adalah budaya keseharian di Jepang. (Sumber via Kompas.com) 

Rasa aman mungkin bisa didapatkan jika kita benar-benar kenal lingkungan tersebut (baca: rute) meski itu tidak menjadi jaminan.

Di kota besar misalnya, selain harus mengutamakan keselamatan agar tidak terserempet saat berjalan kaki di jalan (baca: di sini, pejalan kaki bukan raja; ia tidak mendapatkan penuh haknya);

tindak kriminal juga perlu diantisipasi. Hal ini bisa saja berpotensi terjadi—bahkan bagi perempuan, ini jauh lebih sulit lagi. Pelecehan seksual seperti catcalling benar-benar sebisa mungkin dihindari, amit-amit pelecehan yang parah lagi dari itu. 

Baca juga:

Memutus Rantai KDRT pada Perempuan, Mungkinkah?

Selain rasa aman, kenyamanan juga menjadi faktor. Bagi sebagian besar orang menganggap kegiatan berjalan kaki adalah sesuatu yang aneh. Mulai dari dicap orang kere karena tidak memiliki kendaraan pribadi—bahkan hanya sebuah sepeda motor—hingga mendapat nyinyiran diam-diam "ngapain panas-panasan jalan kaki?"

Baca juga:

Klinik Kecantikan (Seharusnya) Melawan Stigma

Biaya ongkos yang besar

Bayangkan jika jarak rumah jauh dari tempat kerja tapi moda transportasi tidak mendukung? Apa jadinya?
Bagi kaum pekerja ini akan menjadi masalah.

Kita harus jujur, transportasi di Indonesia memang masih terbilang payah.

Bisa jadi modern tapi tidak terintegrasi; bisa jadi jadul tapi ugal-ugalan;

atau jika memang terpaksa ingin cepat dan bisa nyelip di jalan gunakan ojek online saja. Tapi, ya, ongkosnya sehari bisa bikin sakit kepala sedangkan pendapatan segitu-segitu saja. 

Tidak bisa dipungkiri, bagi kaum pekerja—apalagi yang sudah berkeluarga—pengeluaran biaya ongkos inilah yang sebisa mungkin harus ditekan sementara biaya-biaya hidup lain terus berjalan. 

Baca juga:

Dari Daycare, Orang Tua Pekerja dan Masalah Sistemik di Dalamnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun