Tidak perlu kaget jika Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara dengan predikat paling malas jalan kaki di dunia—Indonesia memang PANTAS mendapatkannya.
Jangan misuh-misuh jika memang itu benar. Sila tanya diri sendiri, apakah ke warung yang berjarak seratus meter dari rumah, kebanyakan orang Indonesia (baca: kita) lebih memilih jalan kaki dibandingkan naik sepeda motor jika ada?Â
Ya, benar, karena kebanyakan dari kita memang lebih memilih CEPAT dibandingkan SEHAT—bahkan tanpa harus diburu-buru tenggat.
***
Indonesia bukan Jepang; budaya jalan kaki itu milik Jepang!
Tidak peduli di pedesaan atau di kota-kota besar, orang-orang Jepang adalah pejalan kaki yang mahir. Mereka berasal dari berbagai usia, dari yang berdandan kasual hingga yang berdasi mahal—bahkan anak-anak sekolah dasar di Jepang ke sekolah tidak perlu ditemani oleh orang tuanya, ia cukup berjalan kaki. Perihal jalan kaki ini malah masuk sebagai bagian dari kurikulum sekolah.Â
Baca juga:
Cegah Stunting: Praktikkan Diet Gula pada Anak Balita
Tak heran rata-rata orang-orang di Jepang dengan rentang usia 20-50 tahun dalam sehari memiliki jumlah 7.000 langkah (untuk perempuan) hingga 8.000 langkah (untuk laki-laki)—dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan rata-rata yang bisa dihasilkan oleh orang-orang Indonesia.
Tapi, saya tidak ingin berbicara menyoal Jepang—tentang mengapa jalan kaki bukan sesuatu yang wah di sana; ini tentang beberapa sebab-musabab mengapa orang-orang Indonesia menjadi orang yang paling malas jalan kaki di dunia.
***
Saya berani bertaruh bahwa jumlah orang yang membeli kontan kendaraan pribadi tidak lebih banyak dari yang mencicilnya bulan ke bulan.
Realitasnya demikian, sepeda motor contohnya—
hanya dengan down payment (DP) yang terbilang murah, orang-orang Indonesia bisa dengan mudah membawa sepeda motor baru ke rumah.
Sepeda motor—moda kendaraan ini sangat merakyat dan hampir semua kalangan memilikinya.Â
Sekadar perbandingan saja, sebelum tahun 2000-an sepeda motor tidak terlalu banyak berseliweran di jalan. Ini pengamatan pribadi.
Tapi, tengoklah sekarang, kita tidak bisa menutup mata, bahkan anak dengan usia sekolah dasar pun sudah tampak wara-wiri menggunakannya. Terutama di pemukiman kota-kota besar.
Siapa yang salah?
***
Saling tunjuk siapa yang salah juga tidak akan menyelesaikan masalah. Ini karena memang belum menjadi budaya (baca: jalan kaki).
Tapi, bagaimana bisa menjadi budaya jika menjadikannya sebagai gaya hidup saja masih setengah mati susahnya?
Tapi, bagaimana bisa menjadi gaya hidup kalau banyak hal-hal yang juga sulit untuk diubah?
Rasa aman dan nyaman
Kegiatan berjalan kaki—baik dengan bertujuan olahraga atau bukan—erat kaitannya dengan rasa aman dan nyaman. Terutama rasa aman.
Masih agak terasa sulit mendapatkan rasa aman menjadi pejalan kaki—alih-alih mulai berusaha menjadikannya kebiasaan.
Rasa aman mungkin bisa didapatkan jika kita benar-benar kenal lingkungan tersebut (baca: rute)Â meski itu tidak menjadi jaminan.
Di kota besar misalnya, selain harus mengutamakan keselamatan agar tidak terserempet saat berjalan kaki di jalan (baca: di sini, pejalan kaki bukan raja; ia tidak mendapatkan penuh haknya);
tindak kriminal juga perlu diantisipasi. Hal ini bisa saja berpotensi terjadi—bahkan bagi perempuan, ini jauh lebih sulit lagi. Pelecehan seksual seperti catcalling benar-benar sebisa mungkin dihindari, amit-amit pelecehan yang parah lagi dari itu.Â
Baca juga:
Memutus Rantai KDRT pada Perempuan, Mungkinkah?
Selain rasa aman, kenyamanan juga menjadi faktor. Bagi sebagian besar orang menganggap kegiatan berjalan kaki adalah sesuatu yang aneh. Mulai dari dicap orang kere karena tidak memiliki kendaraan pribadi—bahkan hanya sebuah sepeda motor—hingga mendapat nyinyiran diam-diam "ngapain panas-panasan jalan kaki?"
Baca juga:
Klinik Kecantikan (Seharusnya) Melawan Stigma
Biaya ongkos yang besar
Bayangkan jika jarak rumah jauh dari tempat kerja tapi moda transportasi tidak mendukung? Apa jadinya?
Bagi kaum pekerja ini akan menjadi masalah.
Kita harus jujur, transportasi di Indonesia memang masih terbilang payah.
Bisa jadi modern tapi tidak terintegrasi; bisa jadi jadul tapi ugal-ugalan;
atau jika memang terpaksa ingin cepat dan bisa nyelip di jalan gunakan ojek online saja. Tapi, ya, ongkosnya sehari bisa bikin sakit kepala sedangkan pendapatan segitu-segitu saja.Â
Tidak bisa dipungkiri, bagi kaum pekerja—apalagi yang sudah berkeluarga—pengeluaran biaya ongkos inilah yang sebisa mungkin harus ditekan sementara biaya-biaya hidup lain terus berjalan.Â
Baca juga:
Dari Daycare, Orang Tua Pekerja dan Masalah Sistemik di Dalamnya
Solusinya?
Punya kendaraan saja, biarpun harus mengangsur; tidak apa-apa mengangsur asal jadi hak milik.Â
Toh, cara ambilnya tidak susah bahkan surveyor "mempermudah"nya di lapangan, pokoknya yang penting kendaraan harus di tangan.
Kalau pendapatan jadi ngepas untuk membayar angsurannya, bisa kerja sambilan. Bagi  yang punya sepeda motor, jadi driver online atau ojek pangkalan, misalnya.Â
Baca juga:
Gerakan Bawa Bekal: Kurangi Jajan dengan Pendidikan Makanan
Karena mekanisme mengangsur mudah, banyak orang Indonesia berbondong-bondong punya kendaraan, parkir bisa di sembarang tempat (baca: di bahu jalan umum?), menaati atau sadar berlalu lintas urusan belakang, SIM bisa didapat walau kebanyakan ditebus dengan "selipan".Â
Ini semua akan (masuk) menjadi masalah sistemik.Â
Harus kita akui, kita masih belum bisa sedikit melampaui mindset dua negara yang pernah menjajah kita.Â
Jepang, biarpun negara maju, mereka menjadikan berjalan kaki sebagai perilaku sehari-hari; Belanda biarpun negara maju, mereka bersepeda ke sana ke mari.Â
Percayalah, sebenarnya Indonesia masih "dijajah", setidaknya sejak masih dalam pikiran.
Kamuflase efisiensi waktu
Atau dengan dalih efisiensi waktu, aktivitas jalan kaki pada akhirnya memang akan ditinggalkan oleh kebanyakan orang di Indonesia.
Kamuflase segala sesuatu harus cepat inilah yang agak bikin menggelitik. Padahal kita tidak sedang mensejajarkan waktu dengan kereta yang akan lewat seperti halnya orang-orang Jepang!
Tidak semua orang Indonesia—tidak semua dari kita—sadar literasi tentang kesehatan bahwa jalan kaki 150 menit seminggu penting untuk tubuh.
***
Pada akhirnya, kita memang tidak bisa mengubah budaya dan sistem yang ada di masyarakat—yang kita juga menjadi bagian di dalamnya; kita hanya bisa mengubah perilaku kita sebagai individu.
Jika memang sulit 10 ribu langkah sehari, menuntaskannya HANYA dengan 15 menit dari jadwal harian juga patut dirayakan.
Tidak perlu selalu patuh pada aturan baku, cukup menjadikannya pelan-pelan sebagai gaya hidup baru.
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H