Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu sosial-budaya dan gender | Kontak: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

4 Hal yang Menyebalkan sebagai Wedding Photographer Saat di Lapangan

30 Juli 2024   20:52 Diperbarui: 30 Juli 2024   21:51 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iring-iringan pagar ayu dan pagar bagus saat pengantin memasuki gedung. (Foto oleh Kazena Krista | Sumber Dokumentasi Pribadi) 

Selama pandemi Covid 19—apalagi disaat Pembatasan Sosial Berskala Besar atau (PSBB) (yang kemudian berganti menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM))—adalah tahun yang akan menjadi kenangan tersendiri dalam setiap orang yang melewatinya. 

Masa-masa di mana segala sesuatu berubah seratus delapan puluh derajat; dimulai dari kebiasaan hingga cara memperoleh uang. 

Dan salah satu yang terkena dampaknya adalah fotografer. Bagaimana tidak, virus mematikan itu dapat menjadi momok bagi setiap orang, sehingga segala kegiatan yang bersifat kumpul-kumpul dilarang: akan dirazia oleh aparat yang berwenang. 

Boro-boro dalam skala besar seperti pesta pernikahan. 

Bicara pesta pernikahan, selama hampir satu dekade melakoninya, tentu saja banyak cerita yang sudah saya lewati.

Dari yang bisa bikin bahagia semisal mantennya photogenic dan pandai bergaya sampai yang bisa bikin mood berantakan seperti ceiling rumah si empunya hajat yang berwarna hijau daun terang, yang berdampak pada hasil foto yang tentu tidak bisa dikatakan bagus; 

saat ngejob di lapangan, saya biasa memakai setting-an manual. Jadi, jika saya mendapati cat rumah si empunya hajat agak "aneh", itu cukup membuat saya kewalahan dan ini harus saya siasati sebelum acara dimulai agar menemukan setting-an yang pas. Karena kalau tidak, tidak ada gunanya pantulan (bouncing) lampu flash; 

kamera selalu jujur dalam membuat sebuah foto. 

Tidak ada satu pun pekerjaan yang mulus-mulus saja prosesnya, seperti itu juga sebagai saya seorang female wedding photographer.

Namun, ada beberapa hal juga yang kadang membuat saya gemas selama mendokumentasikan momen pernikahan orang-orang—kadang memancing kejengkelan saya. 

Lagi jengkel tapi harus selalu menebar senyum, tahu kan bagaimana rasanya?! 

Baca juga: Jadi Female Wedding Photographer Bukan untuk Gaya-gayaan

Baca juga: Kepincut Jadi Female Wedding Photographer? Boleh Saja tapi 4 "Pakem" Ini Harus Dipegang 

Dari beberapa hal-hal yang membuat saya jengkel itu, ada 4, di antaranya:

#1 Molor dari waktu yang dijadwalkan. 

Ada kalanya jadwal molor. Misal, yang tadinya akad nikah pukul 07.30 pagi, molor jadi jam 08.15—(di kota saya, akad nikah lebih sering dilakukan di rumah calon pengantin perempuan. Namun, tak jarang dilakukan di gedung. Biasanya kalau di gedung, akad-resepsi dilakukan dalam hari yang sama; di Palembang akad-resepsi sering dijadikan dua hari seperti hari Jumat berlangsung akad-Minggu resepsi atau Sabtu akad-Minggu resepsi. Tapi, mungkin di tiap daerah berbeda.)—di menit-menit menunggu ini, tak jarang membuat saya bosan. 

Bagaimana ngga? 

Setting kamera, sudah. Ambil preparation calon pengantin perempuan pas sedang di-touch up MUA, sudah; foto tipis-tipis, juga sudah. 

Tapi, acara belum juga dimulai. 

Jadwal molor ini biasanya kalau bukan dari calon pengantin laki-laki (beserta keluarganya) yang belum datang, atau justru penghulunya. 


Kalau sudah begini, Wedding Organizer (WO) pun angkat tangan. Ribet memang berurusan dengan keluarga besar, mau disuruh supaya lebih cepat, agak ngga enakan. 

Wali nikah saat menghapal kalimat isi kalimat sebelum prosesi ijab-qobul. (Foto oleh Kazena Krista | Sumber: Dokumentasi Pribadi) 
Wali nikah saat menghapal kalimat isi kalimat sebelum prosesi ijab-qobul. (Foto oleh Kazena Krista | Sumber: Dokumentasi Pribadi) 

#2 Dilarang terlambat

Calon pengantin dan penghulu boleh datang terlambat, tapi jangan harap fotografer dan timnya bisa. 

Haram hukumnya!

Saya tak jarang memilih tidur lebih awal supaya tidak terlambat keesokan paginya, atau cuma tidur 3-4 jam kalau memang ada deadline tulisan—atau tidak tidur sekalian. Apalagi kalau setelah saya survei, tempat pelaksanaan akad (rumah calon pengantin perempuan) jauh dari lokasi rumah saya. 

Pernah kejadian, saya hampir bangun kesiangan dan saya gubrak-gubruk ngga karuan. Namun, preparation makes perfect, karena malam sebelumnya saya sudah prepare gear dan printilannya. 

"Untung masih selamat," pikir saya. 

Tapi, ya, itu saya jadi tidak sempat sarapan.

Biasanya, tuan rumah akan dengan ramah menawarkan fotografer (saya dan tim) untuk sarapan sebelum acara dimulai. 

"Enak, ya jadi penghulu? Bisa datang terlambat."

Saya suka menggerutu karena ini. 

#3 Sering dapat makanan "sisa" 

Ya, kalian tidak salah baca.

Sering kali, sebagai fotografer saya dan tim dapat makanan sisa. 

Tapi, makanan sisa yang saya maksud, bukan makanan yang bekas orang makan sebelumnya—bukan seperti itu.


Melainkan "komponen" makanannya yang tak lagi lengkap seperti lauknya yang habis, atau nasinya yang habis atau sambalnya yang tersisa seuprit—padahal saya tipikal orang yang doyan makan pedas;—atau

sering juga tidak kebagian makan sama sekali karena saking membludaknya jumlah tamu undangan yang datang. 

Biasanya selesai ngejob, kami makan siang di ruang vip bersama dengan mempelai dan keluarganya. Hanya saja tentu beda meja. 

Tapi, terkadang pengantinnya yang justru mengajak makan semeja. Tipikal yang begini adalah pengantin yang over ramah sampai kadang jadi saya jadi segan sendiri.

Datang paling awal tapi pulang belakangan 

adalah jargon fotografer yang paling "renyah" yang pernah saya dengar dan saya sudah terbiasa dengan itu. 

# 4 Diminta jadi fotografer dadakan 

Kamera puluhan juta yang tersampir di pundak pada akhirnya dalam sekejap bisa tersingkirkan sementara hanya karena ada saja tamu undangan yang minta difoto bersama dengan pengantin menggunakan ponsel. 

Sebal tapi ya mau bagaimana? Gigi sudah gemeletuk tapi masih sempat-sempatnya saya kasih senyum. 

Satu lagi, terkadang juga ada saja tamu undangan yang nyelonong masuk frame saya, saat saya mau pencet shutter. Terutama saat momen pengantin datang sebelum acara dimulai atau saat momen salam-salam sebelum undangan dipersilahkan untuk menikmati kudapan.

Kalau sudah begini saya kadang senewen sendiri. Tak jarang saya ngomel dengan tim wedding organizer di lapangan. 

Bukan apa-apa, tidak ada satu pun orang yang mau momen-momen saat pesta pernikahannya berantakan.

Jadi, sikap profesional saya selalu jadi taruhan setiap kali saya bertugas di lapangan. Saya dibayar untuk itu. 

***

Bagaimana pun pada akhirnya seorang fotografer juga manusia yang bisa sesekali jengkel dan marah.

Dan itu lumrah. 

Biasanya kalau habis jengkel begitu, saya butuh kopi untuk mengembalikan suasana hati saya seperti semula.

Sebagai peminum kopi yang taat terkadang hanya kopi yang membuat saya kembali bersemangat. 

Tabik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun