Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kekerasan Seksual dan Bagaimana Darvo Memainkan Peran

29 Juli 2024   16:18 Diperbarui: 30 Juli 2024   03:57 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Caranya tentu saja dengan memainkan psikologis korban. Di sini pelaku bertindak seolah-seolah menjadi korban (play victim); dan sebaliknya membuat korban merasa tidak percaya diri dan malu atas tindak kekerasan yang dialaminya—parahnya korban bisa saja mengoreksi bahwa sebenarnya dirinya lah yang bersalah dalam kasus tersebut. 

Dalam kasus yang menyeret Meila secara gamblang dapat dikatakan dengan bahasa sederhana (yang mengacu pada sisi para korban) pengaduan IM adalah upaya penyangkalan atas tuduhan yang dituduhkan padanya dengan menyerang balik korban melalui pendamping hukum korban melalui UU ITE Pasal 45 ayat 3. 

Tujuannya jelas agar tanggung jawab atau kewajibannya sebagai pelaku gugur di mata hukum. 

Berbahaya 

Baik penyintas atau pelaku dapat sama-sama berpotensi menggunakan teknik psikologis DARVO ini, terutama pelaku-

dan jika hal tersebut dilakukan, jelas sangat berbahaya karena tentu saja akan menambah trauma korban atau penyintas kekerasan seksual lainnya—atau seperti yang menimpa Meila: berpotensi dikriminalisasi. 

***

Dengan berat hati, saya harus jujur bahwa hukum di Indonesia masih dinilai "lembek" terhadap pelaku kekerasan seksual (apalagi jika itu terjadi di ranah privat seperti rumah). RUU TPKS juga belum menunjukkan kabar yang menggembirakan dan senantiasa dikawal. 

Tak jarang kasus-kasus kekerasan seksual menemui jalan buntu dalam pelaporannya terhadap aparat penegak hukum (padahal terkadang sudah cukup bukti); bahkan tidak sedikit yang berujung damai, seperti halnya pelecehan seksual seorang perempuan yang terjadi di KRL Jakarta baru-baru ini. 

Tidak semua korban atau perempuan penyintas kekerasan seksual mau berani bicara dengan dalih malu karena konstruksi di masyarakat kita cenderung tidak berpihak pada korban—bahkan malah menyalahkannya.

Mengacu itu, tidak mengherankan jumlah para pejuang kesetaraan gender atau para pembela HAM (termasuk para perempuan pembela HAM seperti Meila yang memperjuangkan hak-hak perempuan) tumbuh subur beberapa tahun belakangan. 

Peran-peran mereka dibutuhkan agar semakin banyak masyarakat yang mau ambil peduli dengan berbagai kasus kekerasan seksual yang kian marak terjadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun