Dilansir melalui artikel yang tayang di Kompas.com tertanggal 7 Maret 2024, Komisi Nasional Perempuan mencatat ada 401.975Â kasus kekerasan di tahun 2023. Data itu dipaparkan Komnas Perempuan dalam acara catatan tahunan 2023 yang diadakan di gedung Danareksa, Jakarta, pada tanggal 7 Maret 2024 yang lalu.Â
Secara angka—meski tidak mencapai 15%—ada penurunan kasus sebanyak 55.920. Dari data yang sama pula diketahui bahwa kasus-kasus kekerasan seksual tersebut terjadi justru oleh orang-orang terdekat korban seperti suami (174 kasus), kekasih (462 kasus), mantan kekasih (550 kasus).
Meski tren kekerasan terhadap perempuan turun (dan akan terus diupayakan turun) namun ternyata terjadi peningkatan kekerasan pada ranah negara sebanyak 68 kasus di tahun 2022 menjadi 88 kasus di tahun selanjutnya.Â
Kekerasan pada ranah negara yang dimaksud tersebut adalah kasus-kasus perempuan yang berkonflik dengan hukum, kekerasan perempuan oleh anggota TNI/Polri, kekerasan terhadap perempuan pembela HAM; serta kekerasan terhadap perempuan di dunia politik.Â
Baca juga: Sexist Joke, antara Rape Culture dan Tiga Cara Sederhana Menyikapinya
Seperti diketahui bersama, setidaknya terdapat dua kasus yang menyita perhatian seminggu terakhir yakni kasus yang menyoroti Gregorius Ronald Tannur yang divonis bebas atas segala tuntutan dalam kasus kematian mantan kekasihnya, Dini Sera Afriyanti, Oktober tahun lalu.Â
Vonis itu dijatuhkan dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Surabaya yang diketuai hakim Erintuah Damanik; Ronald dinilai tak terbukti melakukan tindak pidana yang dituduhkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU);—
dan yang kedua adalah kasus yang menimpa perempuan pembela HAM bernama Meila Nurul Fajriah.Â
***
Meila adalah advokat dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)Â yang bertugas sebagai pendamping hukum untuk 30 korban kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh IM, seorang alumnus UII, Yogyakarta.Â
Namun, sekarang Meila justru sedang berhadapan dengan hukum: diperkarakan dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda DIY.Â
Meila dianggap melanggar UU ITE Pasal 45 ayat 3 atau dengan sangkaan pencemaran nama baik.Â
Dari dua kasus di atas memperlihatkan bahwa para pelaku kekerasan (terutama kekerasan seksual) akan melakukan seribu satu cara agar terlepas dari tuduhan—seperti halnya IM yang memperkarakan Meila.Â
Kekerasan seksual dan HAM
Kekerasan seksual adalah bentuk perampasan Hak Asasi Manusia;
karena dinilai sebagai perampasan hak merdeka seseorang dari rasa aman untuk bertindak dan melakukan sesuatu atas kemauannya sendiri.Â
Bentuk kekerasan seksual beragam, mulai dari yang biasa seperti candaan yang bersifat seksis (acapkali terjadi di lingkungan masyarakat atau lingkungan kerja), pemaksaan alat kontrasepsi, hingga percobaan perkosaan atau perkosaan itu sendiri; setidaknya menurut Komnas Perempuan ada tak kurang dari lima belas jenis kekerasan seksual yang terjadi.Â
Pelaku dalam melakukan tindakannya memanfaatkan relasi yang tak setara dan tak jarang menggunakan ancaman, baik secara fisik atau verbal—
dan untuk kasus yang melibatkan IM—yang berlindung di bawah UU ITE—menyiratkan jika yang bersangkutan sedang berusaha memengaruhi audiens.Â
Upaya IM dalam memengaruhi audiens tersebut dinamakan DARVO.Â
Baca juga: Male Gaze dalam Sastra "Mata" Seorang Fotografer Kecantikan
DARVO di antara permainan psikologi dan hukum negara
DARVO adalah akronim abjad dari Deny, Attack, Reverse, Victim and Offender.
Teknik ini dilakukan oleh para pelaku untuk mempertahankan "kekuasaan"Â dengan dalih untuk "membersihkan" nama baik.Â
Caranya tentu saja dengan memainkan psikologis korban. Di sini pelaku bertindak seolah-seolah menjadi korban (play victim); dan sebaliknya membuat korban merasa tidak percaya diri dan malu atas tindak kekerasan yang dialaminya—parahnya korban bisa saja mengoreksi bahwa sebenarnya dirinya lah yang bersalah dalam kasus tersebut.Â
Dalam kasus yang menyeret Meila secara gamblang dapat dikatakan dengan bahasa sederhana (yang mengacu pada sisi para korban) pengaduan IM adalah upaya penyangkalan atas tuduhan yang dituduhkan padanya dengan menyerang balik korban melalui pendamping hukum korban melalui UU ITE Pasal 45 ayat 3.Â
Tujuannya jelas agar tanggung jawab atau kewajibannya sebagai pelaku gugur di mata hukum.Â
BerbahayaÂ
Baik penyintas atau pelaku dapat sama-sama berpotensi menggunakan teknik psikologis DARVO ini, terutama pelaku-
dan jika hal tersebut dilakukan, jelas sangat berbahaya karena tentu saja akan menambah trauma korban atau penyintas kekerasan seksual lainnya—atau seperti yang menimpa Meila: berpotensi dikriminalisasi.Â
***
Dengan berat hati, saya harus jujur bahwa hukum di Indonesia masih dinilai "lembek" terhadap pelaku kekerasan seksual (apalagi jika itu terjadi di ranah privat seperti rumah). RUU TPKS juga belum menunjukkan kabar yang menggembirakan dan senantiasa dikawal.Â
Tak jarang kasus-kasus kekerasan seksual menemui jalan buntu dalam pelaporannya terhadap aparat penegak hukum (padahal terkadang sudah cukup bukti); bahkan tidak sedikit yang berujung damai, seperti halnya pelecehan seksual seorang perempuan yang terjadi di KRL Jakarta baru-baru ini.Â
Tidak semua korban atau perempuan penyintas kekerasan seksual mau berani bicara dengan dalih malu karena konstruksi di masyarakat kita cenderung tidak berpihak pada korban—bahkan malah menyalahkannya.
Mengacu itu, tidak mengherankan jumlah para pejuang kesetaraan gender atau para pembela HAM (termasuk para perempuan pembela HAM seperti Meila yang memperjuangkan hak-hak perempuan) tumbuh subur beberapa tahun belakangan.Â
Peran-peran mereka dibutuhkan agar semakin banyak masyarakat yang mau ambil peduli dengan berbagai kasus kekerasan seksual yang kian marak terjadi.Â
Meila dan para perempuan pembela HAM lainnya sudah barang tentu selalu berhadapan dengan tekanan dan serangan (dari para pelaku kekerasan) sewaktu memperjuangkan hak-hak para korban di lapangan.Â
Padahal mereka memiliki hak untuk menyuarakan keadilan; tak seharusnya mereka dikriminalisasi.
Mengkriminalisasi seorang advokat sama saja menunjukkan ketidakhadiran negara atas para korban yang berupaya menuntut keadilan serta merintangi penegakan hukum itu sendiri—
atau dengan kata lain, hal itu menunjukkan tepat ke muka kita bahwa sistem hukum Indonesia—memang—mengalami kemunduran.Â
Tabik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H