Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu sosial-budaya dan gender

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

"Bayaran" Fotografer di Antara Perang Harga dan Hukum Supply-Demand

28 Juli 2024   18:59 Diperbarui: 28 Juli 2024   20:08 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai calon klien yang akan menggunakan jasa fotografer untuk satu keperluan atau acara, mencari tahu segala sesuatu menyoal fotografer tersebut adalah keharusan termasuk harga yang akan ditawarkan. 

Seperti kita ketahui bersama, pergerakan fotografi bisa dikatakan sangat dinamis. Kedinamisan itu bisa terlihat dari keluarnya jenis-jenis seri baru dari brand-brand kamera itu sendiri beserta lensa-lensa pendukungnya. Termasuk pula alat-alat penunjang lain dan juga munculnya wajah-wajah baru (baca: para fotografer itu sendiri) yang piawai di bidang itu. 

Kamera monolog memang sudah bisa dikatakan sebagai barang antik— meskipun masih menjadi primadona di sebagian kalangan termasuk para fotografer. 

Sekarang waktunya mirrorless berjaya, setidaknya bagi fotografer yang menggeluti model sebagai obyek fotonya, atau fotografer commercial product, wedding, dan lain sebagainya. 

Di lapangan, para fotografer memiliki tantangan tersendiri—bahkan jauh sebelum project dikerjakan—yakni masalah harga. 

Tidak ada kesepakatan baku berapa nominal patokan harga untuk satu project foto dan tak jarang ini dapat memantik persaingan. Pada prosesnya perang harga terkadang tak terhindarkan. 

Untuk meminimalisir hal tersebut, sebagai calon klien—yang akan menggunakan jasa foto—sebenarnya ada beberapa trik "tersembunyi" yang dapat membantu agar persaingan saling sikut sesama fotografer ini tidak terjadi. 

1. Gear

Bagi sebagian orang, fotografi adalah cara lain (hobi?) menghabiskan uang namun akan menjanjikan cuan jika serius digeluti (baca: fotografer).

Dengan kata lain, harga yang ditawarkan seorang fotografer boleh jadi karena gear yang ia punya. 

Teorinya boleh jadi begini:

semakin mahal dan lengkap gear semakin mahal pula harga jasanya.

Kamera yang dijual di pasaran sendiri teknologinya mengikuti perkembangan zaman. Boleh dikatakan kamera "standar" untuk serius menjadi seorang fotografer profesional cukup menguras kantong, itu belum terhitung biaya beli lensa tambahan—dan lain sebagainya. Lensa kamera sendiri bermacam-macam.

Sebagai contoh untuk menjadi seorang wedding photographer, di lapangan—selain lensa bawaan kamera (lensa kit)— setidaknya fotografer membutuhkan beberapa lensa penunjang yang memiliki focal lenght yang dapat menghasilkan foto full frame dengan sudut pandang berkualitas baik, misalnya, lensa dengan panjang focal lenght 50mm (hampir seluruh fotografer wedding sepakat lensa jenis ini wajib dipunya). 

Untuk ruang sempit, lensa wide angle 35mm bisa jadi andalan. Membidik dari jauh agar tidak banyak menimbulkan noise (bintik hitam pada foto yang diakibatkan karena jarak fotografer dan obyek yang difoto terlalu jauh), lensa 70-200mm bisa pula jadi pilihan. Semua tergantung kebutuhan, semua tergantung uang.

Ada pula printilan lain pendukung seperti lampu yang dipasang di body kamera, payung reflektor, tripod dan lain sebagainya.  

Baca juga: Every Picture Tells Story dan Ini 5 Alasan yang Membuat Saya Mencintai Fotografi

Baca juga: 5 Hal yang Harus Dipikirkan Para Puan Saat Melakukan Street Photography Sendirian

Rombongan pagar ayu dan pagar bagus di acara resepsi pernikahan. (Foto oleh Kazena Krista | Dokumentasi pribadi.) 
Rombongan pagar ayu dan pagar bagus di acara resepsi pernikahan. (Foto oleh Kazena Krista | Dokumentasi pribadi.) 

2. Jam terbang dan segala sesuatu yang mungkin tak terkatakan

Percayalah, seorang fotografer sudah tahu berapa jasa sewa dirinya di hadapan calon klien. 

Seorang fotografer yang bijaksana cukup tahu diri dalam menetapkan harga.

Fotografer yang tahu kualitas dirinya tidak akan pitching yang berlebihan. Bukan gengsi atau takut mengobral-abrik harga pasar, tapi ini semata-mata menyoal jam terbang—yang dua tahun terjun dan yang bertahun-tahun serius bergelut dengannya, tentu saja beda harga jasa.

Pertanyaannya, bagaimana bisa harganya mahal tapi hasil seni jepret shutter-nya biasa-biasa saja? "Ngga nyeni-nyeni amat"; kolase foto sample-nya tidak "bercerita"?; atau tidak terlalu elok dipandang karena komposisinya berantakan? 

Ini tergantung selera. Fotografer hanya mengikuti alur: calon klien mengontak untuk kemudian atur jadwal pitching. Selera calon klien, itu beda cerita. 

Tapi, bicara jam terbang, bukankah jika bertahun-tahun digeluti itu menandakan kalau hasil fotonya diminati?

***

Bisa pula nominal yang dipatok seorang fotografer terhadap jasanya berdasarkan sesuatu yang mungkin tak secara gamblang ia katakan. Boleh jadi itu karena ia akan meninggalkan keluarga (anak, suami/isteri, orang tua. Fotografer wedding sering melakukan trip ke luar kota atau ke luar negeri karena prewedding atau postwedding)—ini berbicara bagaimana harga dari sebuah kehangatan keluarga—alih-alih hanya lelahnya saja. 

Baca juga: Menggelar Hari H Pernikahan Tak Semudah Rahang Bilang Sayang

Baca juga: Kepincut Jadi Female Wedding Photographer? Boleh Saja tapi 4 "Pakem" Ini Harus Dipegang

***‌

Selanjutnya, kita berbicara feel. 

Ambil beberapa gambar, kenang bertahun-tahun.

Kalimat Zarry Hendrik ini terasa sangat relevan. 

Semua dari kita sepakat, fotografi adalah seni "menyimpan"; bagaimana merawat kejadian untuk masa depan. 

Sebuah foto ada untuk mengembalikan sesuatu yang mungkin saja kelak akan terlupakan. 

Pernah bukan tiba-tiba melihat sebuah foto lalu seketika kembali pada masa foto itu diambil?; kembali mengingat setiap kejadiannya, orang-orang yang ada di sana, atau suasananya seperti apa. 

Sebuah foto hadir untuk hal itu, untuk merasakan bagaimana gegap gempitanya hati, indahnya kebersamaan, perasaan gugup dan tegang—atau mengingat memori sedih karena ditinggalkan oleh orang yang dikasihi. 

Masih banyak hal lain yang dapat dijadikan untuk menilai "bayaran" seorang fotografer seperti kerapian penampilan, kesopanan dan keramahan dalam berbicara, cara ia menyelesaikan masalah menyangkut teknik foto dan lain sebagainya. 

Beberapa jenis lensa kamera berbagai ukuran focal leght. (Foto oleh Zohaib Khan | Sumber Pexel) 
Beberapa jenis lensa kamera berbagai ukuran focal leght. (Foto oleh Zohaib Khan | Sumber Pexel) 
3. Personal branding

‌Seyogyanya, tidak perlu menawar mati-matian jika ingin menggunakan jasa fotografer. Bukan bermaksud menggurui—tidak demikian. 

Menawar harga itu lumrah, pun saya sering terjebak di situasi itu. Tak sekali atau dua kali, namun kembali ke poin yang saya singgung sebelumnya, seorang fotografer sudah cukup tahu diri dalam menetapkan harga—

atau jika boleh saya bicara, sebenernya kegiatan tawar-menawar yang seorang calon klien lakukan terhadap fotografer mungkin hanya semata-mata agar cashflow keuangannya tidak berantakan.

Harga jasa seorang fotografer adalah harga personal branding yang ia bangun susah payah: sebagai model photographer, wedding photographer, commercial product photographer, baby & maternity photographer dan lain sebagainya. 

Baca juga: Berkarya Demi Viral? Yakin Brandingmu Sudah Personal

mungkin ada effort lebih di sana, ia "menjual" dirinya untuk dikenal, misalnya menebar kartu nama, mailing list bahkan hingga membangun audiens melalui konten media sosial (memasang iklan berbayar?) juga mungkin tak luput dari perhatian. 

***

Jadi, jika ditanya berapa harga—kisaran rata-rata—jasa seorang fotografer? Jawabannya, tentu tidak pasti. 

Tapi, sebagai bayangan, ngobrol saja dulu saat pitching, kulik-kulik ketiga poin yang disebutkan di atas, dari sana akan tahu apakah pantas harga yang sang fotografer tawarkan itu. 

Namun, jangan lakukan deal terlebih dulu. Cukup ucapkan terima kasih, tak lupa yakinkan untuk memberi kabar lanjutan (tak satupun fotografer bersedia di-ghosting) lalu kontak yang lain, kemudian ulangi proses kulik-kuliknya lagi. Sila repetisi hingga mendapatkan harga yang dirasa sesuai. 

Sebenarnya, murah atau kemahalan, keduanya hanya menyoal hukum supply-demand. Semua fotografer ada pasarnya masing-masing. 

Sekali lagi, mohon jangan pernah membandingkan satu fotografer dengan fotografer lainnya saat proses pitching, apalagi soal harga. Pamali.

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun