Tidak seperti di Indonesia, meski terlihat kepo dan sering "ngurusi" yang bukan urusannya tapi masih sigap saling tolong jika ada yang membutuhkan bantuan—alih-alih ngerumpi berjam-jam di komplek tempat tinggal.
Jadi, tak perlu heran jika sesama tetangga pun orang Jepang jarang bertegur sapa (atau tidak kenal sama sekali?); cenderung individualis—malah tetangga sebelah rumah bisa saja bisa dilaporkan ke polisi dengan dalih berisik dan mengganggu ketenangan personal mereka, sekalipun itu suara tangis bayi.‌
Namun, ceritanya menjadi menarik jika mereka yang melakukan Hikikomori tersebut adalah lansia dan juga tidak berpenghasilan—yang biaya hidupnya justru bergantung dari orang tuanya yang 20 atau 30 tahun lebih tua darinya?
Ya, inilah yang terlanjur membuat geger Jepang—dan menjadi headline banyak media lokal maupun asing—yakni adanya kasus penelantaran jasad orang tua pelaku Hikikomori yang telah meninggal berhari-hari. Jasad orang tua mereka dibiarkan begitu saja di rumah tanpa dimakamkan.Â
Ketika dilakukan penindakan oleh aparat yang berwenang mereka berkata alasannya karena ketiadaan biaya acara pemakaman?
Sungguh ironi.Â
Tidak Punya Anak Tidak Selalu Buruk
Saya tidak sedang menunjuk hidung siapa yang salah dari fenomena Hikikomori yang terjadi di Jepang ini, namun rasa-rasanya tidak memiliki anak tidak selalu buruk;Â
mungkin saja para orang tua Jepang dari pelaku Hikikomori hanya berusaha menjalankan tanggung jawabnya sebagai orang tua untuk memberikan yang terbaik buat anaknya meskipun usia si anak sudah masuk usia lanjut sama seperti dirinya—atau ada alasan-alasan pribadi lain, yang cukup mereka saja yang tahu (kembali lagi ke poin budaya orang Jepang yang cenderung tidak ingin berbagi keluh kesah?).
Mungkin tidak ada pula istilah sandwich generation pada masyarakat Jepang karena para orang tua di Jepang tidak menghendaki yang demikian terjadi pada anak mereka (baca: anak mereka menanggung kebutuhan hidup sehari-hari bahkan menanggung biaya hidup mereka hingga mereka tua)—atau lagi-lagi dan lagi para orang tua Jepang ini akan dibenturkan pada kultur dan budaya yang menjadi prinsip dasar mereka dalam menjalani hidup.
Jiwa pekerja keras masyarakat Jepang yang akan terus bekerja selagi mampu, cukup menjadi jawaban. Mereka akan bekerja untuk memiliki tabungan (atau pensiunan) dan asuransi, sehingga saat dimasa mereka tidak bisa bekerja lagi, mereka tidak menggantungkan hidup pada anak-anak mereka.