Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Persentase Perempuan di Kancah Politik Dinilai Masih Kecil: Mari Mengenal Male Chauvinism Lebih Dekat

21 Februari 2023   02:02 Diperbarui: 21 Februari 2023   17:19 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dibutuhkan lebih banyak pemikiran perempuan hadir di ruang-ruang publik, termasuk dalam politik. (Sumber Pexel | Foto oleh August de Richelieu) 

Dan seiring berjalannya waktu, makna chauvinisme ini berkembang lebih luas lagi; chauvinisme—pada akhirnya—mengambil tempat yang dominan pula untuk menggambarkan
pandangan yang dianut oleh sebagian besar laki-laki bahwa jenis kelamin perempuan lebih rendah dari mereka; 

pandangan yang tentu saja bersebrangan dengan paham yang dipelopori oleh Betty Friedan pada tahun 1960-an: feminisme.

Baca juga: 

Choose to Change dan 3 Hal yang Bisa Perempuan Ubah

Male Chauvinist = Misogini

Dalam kaca mata saya, seorang Male Chauvinist (sebutan untuk seorang yang mengaplikasikan Male Chauvinism dalam kehidupannya sehari-hari), juga seorang misogini; 

sebagian besar pelaku misogini adalah laki-laki, meski tak sedikit justeru perempuan lah yang menumbuhkannya dengan subur atau malah melanggengkannya: 

perempuan dianggap sebagai subyek sekaligus obyek dari trauma masa lalu para misogini dalam lingkaran pola asuh yang salah (baca: toxic masculinity)—

di sinilah pada akhirnya letak paradoks peran seorang perempuan dalam kancah politik yang saya katakan tadi. 

Pelaku misoginis akhirnya merusak dan merisak luar-dalam perempuan itu sendiri dengan pandangan seksis—yang pula dibalut kental dengan budaya patriarkis: dapur, sumur, kasur.

Perempuan terjebak dalam perannya yang kontradiktif

Perempuan dan politik—sekali lagi—adalah sesuatu yang menarik. Namun, bagaimana mungkin dunia perpolitikan akan ramah bagi perempuan jika inti masalahnya saja tidak diselesaikan—yang menjadi muasalnya? 

Pengasuhan anak masih lebih banyak dibebankan secara sepihak  pada perempuan. (Sumber Pexel | Quang Nguyen Vinh) 
Pengasuhan anak masih lebih banyak dibebankan secara sepihak  pada perempuan. (Sumber Pexel | Quang Nguyen Vinh) 

Apa itu? 

Begini, bagaimana mungkin hal itu bisa terwujud jika sebagian dari kita justeru masih saja memandang perempuan tidak sebagai obyek yang utuh dengan pemikirannya sebagai pendobrak yang dapat menciptakan banyak hal yang berkesinambungan bagi kemaslahatan orang banyak?;

Atau izinkan saya persempit pertanyaannya menjadi: bagaimana mungkin itu terjadi jika sebagian besar dari kita masih sibuk berperilaku nyinyir dengan beranggapan jika perempuan seyogyanya saja mengurus urusan domestik? 

Lebih gampangnya sila perhatikan seksama iklan-iklan yang berseliweran di televisi tentang bagaimana perempuan dikonstruksikan dan masih dimintai pertanggungan jawabannya secara sepihak menyoal segala kegiatan di dapur dan seisi rumah—

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun