Dan seiring berjalannya waktu, makna chauvinisme ini berkembang lebih luas lagi; chauvinisme—pada akhirnya—mengambil tempat yang dominan pula untuk menggambarkan
pandangan yang dianut oleh sebagian besar laki-laki bahwa jenis kelamin perempuan lebih rendah dari mereka;Â
pandangan yang tentu saja bersebrangan dengan paham yang dipelopori oleh Betty Friedan pada tahun 1960-an: feminisme.
Baca juga:Â
Choose to Change dan 3 Hal yang Bisa Perempuan Ubah
Male Chauvinist = Misogini
Dalam kaca mata saya, seorang Male Chauvinist (sebutan untuk seorang yang mengaplikasikan Male Chauvinism dalam kehidupannya sehari-hari), juga seorang misogini;Â
sebagian besar pelaku misogini adalah laki-laki, meski tak sedikit justeru perempuan lah yang menumbuhkannya dengan subur atau malah melanggengkannya:Â
perempuan dianggap sebagai subyek sekaligus obyek dari trauma masa lalu para misogini dalam lingkaran pola asuh yang salah (baca: toxic masculinity)—
di sinilah pada akhirnya letak paradoks peran seorang perempuan dalam kancah politik yang saya katakan tadi.Â
Pelaku misoginis akhirnya merusak dan merisak luar-dalam perempuan itu sendiri dengan pandangan seksis—yang pula dibalut kental dengan budaya patriarkis: dapur, sumur, kasur.
Perempuan terjebak dalam perannya yang kontradiktif
Perempuan dan politik—sekali lagi—adalah sesuatu yang menarik. Namun, bagaimana mungkin dunia perpolitikan akan ramah bagi perempuan jika inti masalahnya saja tidak diselesaikan—yang menjadi muasalnya?Â
Apa itu?Â
Begini, bagaimana mungkin hal itu bisa terwujud jika sebagian dari kita justeru masih saja memandang perempuan tidak sebagai obyek yang utuh dengan pemikirannya sebagai pendobrak yang dapat menciptakan banyak hal yang berkesinambungan bagi kemaslahatan orang banyak?;
Atau izinkan saya persempit pertanyaannya menjadi: bagaimana mungkin itu terjadi jika sebagian besar dari kita masih sibuk berperilaku nyinyir dengan beranggapan jika perempuan seyogyanya saja mengurus urusan domestik?Â
Lebih gampangnya sila perhatikan seksama iklan-iklan yang berseliweran di televisi tentang bagaimana perempuan dikonstruksikan dan masih dimintai pertanggungan jawabannya secara sepihak menyoal segala kegiatan di dapur dan seisi rumah—