Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu sosial-budaya dan gender | Kontak: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Persentase Perempuan di Kancah Politik Dinilai Masih Kecil: Mari Mengenal Male Chauvinism Lebih Dekat

21 Februari 2023   02:02 Diperbarui: 21 Februari 2023   17:19 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perempuan di kancah politik. (Sumber Pexel | Foto oleh August de Richelieu) 

Buta terburuk adalah buta politik.

Demikian kalimat pertama Bertolt Brecht. Ia seorang penyair Jerman yang hidup di abad ke-19 (1898-1956).

Selanjutnya diteruskan dengan kalimat:

Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.

Ucapan Bertolt itulah yang pernah membakar semangat saya—nyaris satu dekade yang lalu: saya sengaja "menceburkan" diri dengan mengikuti suatu gerakan—yang tentu saja bisa dikatakan—bidang politik.

Jargonnya jelas: mendorong orang baik masuk politik (baca: sila googling). 

Tentu saya tidak akan menjelaskan lebih lanjut—apalagi secara detail—menyoal hal tersebut; itu bagian dari masa lalu, meskipun tentu saja tetap menorehkan rekam jejak dalam kepala saya. 

Menilik pada peristiwa masa lalu yang saya alami langsung, tegas saya katakan bahwa tak sedikit anak-anak muda perempuan yang bergabung bersama saya dalam gerakan tersebut ketika itu (baca: kami tak menyebutnya komunitas). 

Dari sini yang saya pelajari, perempuan-perempuan muda ini memilih untuk "melek" politik, meski boleh jadi dengan tujuan yang berbeda pada tiap masing-masing. Mereka memilih untuk meng-edukasi-kan diri mereka, meski terdengar agak naif karena seperti kita tahu jiwa muda sangat rentan untuk dimanipulasi—alih-alih dilabeli sebagai seseorang yang cenderung menganut politik praktis hanya karena pada saat itu adalah tahun politik (baca: 2014).

Perempuan dan politik adalah padu padan yang menarik. Setidaknya itu yang bisa saya tangkap dalam artikel seorang Kompasianer, Luna Septalisa yang berjudul Jalan Terjal Perempuan di Ranah Politik yang Penuh Kekerasan dan mendapatkan label Artikel Utama. 

Luna dalam artikelnya menyebut bahwa berbagai aturan telah dibuat untuk mengakomodasi keterlibatan perempuan dalam dunia politik atau yang disebut sebagai kebijakan afirmatif (affirmative action)—beserta turunannya (baca: undang-undang yang dibuat untuk mendukung dan memperluas keterlibatan perempuan), dan tentu saja apa yang dituliskan Luna dalam artikelnya itu, valid adanya.

Namun, baik saya, Luna atau beberapa di antara kita tidak memungkiri bahwa hal itu sepertinya masih terasa paradoks jika kita melihatnya langsung di lapangan.

Baca juga: 

Jalan Terjal Perempuan di Ranah Politik yang Penuh Kekerasan

Indonesia mah ngga kekurangan stok perempuan cerdas apalagi berpendidikan tinggi, tp kalo dibilang partisipasinya di ranah politik cuma dianggap tim hore, ya keberatan juga.

Begitu isi cuitan saya di Twitter beberapa hari yang lalu—cuitan ini sebagai bentuk reaksi terbuka saya atas sebuah artikel yang juga purna saya baca. 

Baiklah, saya tidak akan mendadak menjadi pakar politik dalam artikel ini (bagi saya saat ini mengamati politik dari sudut pandang yang berbeda jauh lebih menarik): mari mengenal male chauvinism lebih dekat yang membuat hal itu terjadi. 

Feminist vs Male Chauvinist

Saya berani mengatakan bahwa mustahil ada gerakan feminisme jika tidak ada kelompok yang berseteru dengannya: Male Chauvinism. 

Male Chauvinism sendiri adalah sebuah paham yang menganggap bahwa laki-laki harus dan sudah sepantasnya terlihat lebih superior pada bidang apapun dibandingkan perempuan;—

memaksa untuk menempatkan perempuan pada posisi inferior. 

Seksisme adalah bagian dari Male Chauvinism. (Sumber Pexel | Foto oleh Markus Spiske) 
Seksisme adalah bagian dari Male Chauvinism. (Sumber Pexel | Foto oleh Markus Spiske) 

Definisi ini berbanding lurus dengan apa yang dikatakan Jane Mansbridge dan Katherine Flaster dalam tulisannya yang berjudul Male Chauvinist, Feminist, Sexist, And Sexual Harassment: Different Trajectories In Feminist Linguistic Innovation.

Male Chauvinism tentu saja selaras dengan konsep patriarki yang bisa dengan mudah kita artikan sebagai: membatasi gerak dan peran perempuan yang dianggap tak sepantasnya mendominasi ruang-ruang publik—termasuk dalam bidang politik. 

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang saya buka secara daring, chauvinisme sendiri diartikan sebagai sikap atau cinta kepada tanah air yang sangat berlebihan.

Dirunut pada latar belakang sejarahnya, paham chauvinisme ini kali pertama "diperkenalkan" oleh sosok asal Perancis (1839) bernama Nicholas Chauvin, seorang prajurit Grand Armee Napoleon yang dinilai tergila-gila dan mengidolakan Napoleon Bonaparte dan Kekaisaran lama—

Dan seiring berjalannya waktu, makna chauvinisme ini berkembang lebih luas lagi; chauvinisme—pada akhirnya—mengambil tempat yang dominan pula untuk menggambarkan
pandangan yang dianut oleh sebagian besar laki-laki bahwa jenis kelamin perempuan lebih rendah dari mereka; 

pandangan yang tentu saja bersebrangan dengan paham yang dipelopori oleh Betty Friedan pada tahun 1960-an: feminisme.

Baca juga: 

Choose to Change dan 3 Hal yang Bisa Perempuan Ubah

Male Chauvinist = Misogini

Dalam kaca mata saya, seorang Male Chauvinist (sebutan untuk seorang yang mengaplikasikan Male Chauvinism dalam kehidupannya sehari-hari), juga seorang misogini; 

sebagian besar pelaku misogini adalah laki-laki, meski tak sedikit justeru perempuan lah yang menumbuhkannya dengan subur atau malah melanggengkannya: 

perempuan dianggap sebagai subyek sekaligus obyek dari trauma masa lalu para misogini dalam lingkaran pola asuh yang salah (baca: toxic masculinity)—

di sinilah pada akhirnya letak paradoks peran seorang perempuan dalam kancah politik yang saya katakan tadi. 

Pelaku misoginis akhirnya merusak dan merisak luar-dalam perempuan itu sendiri dengan pandangan seksis—yang pula dibalut kental dengan budaya patriarkis: dapur, sumur, kasur.

Perempuan terjebak dalam perannya yang kontradiktif

Perempuan dan politik—sekali lagi—adalah sesuatu yang menarik. Namun, bagaimana mungkin dunia perpolitikan akan ramah bagi perempuan jika inti masalahnya saja tidak diselesaikan—yang menjadi muasalnya? 

Pengasuhan anak masih lebih banyak dibebankan secara sepihak  pada perempuan. (Sumber Pexel | Quang Nguyen Vinh) 
Pengasuhan anak masih lebih banyak dibebankan secara sepihak  pada perempuan. (Sumber Pexel | Quang Nguyen Vinh) 

Apa itu? 

Begini, bagaimana mungkin hal itu bisa terwujud jika sebagian dari kita justeru masih saja memandang perempuan tidak sebagai obyek yang utuh dengan pemikirannya sebagai pendobrak yang dapat menciptakan banyak hal yang berkesinambungan bagi kemaslahatan orang banyak?;

Atau izinkan saya persempit pertanyaannya menjadi: bagaimana mungkin itu terjadi jika sebagian besar dari kita masih sibuk berperilaku nyinyir dengan beranggapan jika perempuan seyogyanya saja mengurus urusan domestik? 

Lebih gampangnya sila perhatikan seksama iklan-iklan yang berseliweran di televisi tentang bagaimana perempuan dikonstruksikan dan masih dimintai pertanggungan jawabannya secara sepihak menyoal segala kegiatan di dapur dan seisi rumah—

atau tentang pakaian yang akan dikenakan (baca: bersih dan rapinya). Belum lagi dianggap gagal sebagai ibu kalau gizi anak tidak terpantau dengan baik—alih-alih stunting—dan lain sebagainya.

Baca juga: 

Menjadi Seorang Ibu Sangat Dekat dengan Gangguan Kejiwaaan

Jika dicermati bersama, hampir boleh saya katakan 80% iklan menyasar perempuan dengan segala urusan domestik yang dibebankan padanya. 

Boro-boro ngomongin kesetaraan gender atau persentase yang seimbang antara laki-laki dan perempuan di ranah publik—termasuk politik—demi membicarakan ide atau gagasan besar, kalau pada kenyataannya kita sebenarnya tidak cukup sepamahaman mengenai esensi dan atau mendefinisikan pada siapa urusan domestik itu sendiri sepatutnya layak dibebankan—alih-alih masih saja meributkan siapa yang lebih pantas memasang regulator tabung gas ke kompor atau angkat galon yang berisi air siap minum ke dispenser.

Politik dan perempuan 

Bagi saya, politik tidak akan menjadi jalan terjal bagi perempuan yang dihargai pemikirannya untuk sebuah cita-cita luhur; tidak pula hanya dianggap sebagai "pemanis" atau seperti pemandu sorak (baca: cheerleader) untuk sekadar memenuhi kuota keterlibatan dalam politik—alih-alih dengan serius memperkenalkan—pendidikan—politik bagi perempuan (baca: yang bisa dimulai dari akar rumput terkecil demi menciptakan lebih banyak lagi wadah-wadah politik skala besar). 

Sebagai orang yang merasa ikut bertanggung jawab untuk terus mendorong keterlibatan peran perempuan di ranah publik termasuk juga dalam bidang politik, yang ingin saya katakan bahwa upaya saya dan teman-teman yang sepemikiran dengan saya akan nir faedah jika cita-cita luhur ini tidak didukung support system yang baik. 

Dibutuhkan lebih banyak pemikiran perempuan hadir di ruang-ruang publik, termasuk dalam politik. (Sumber Pexel | Foto oleh August de Richelieu) 
Dibutuhkan lebih banyak pemikiran perempuan hadir di ruang-ruang publik, termasuk dalam politik. (Sumber Pexel | Foto oleh August de Richelieu) 

Untuk itulah dibutuhkan lebih banyak pemikiran perempuan hadir di ruang-ruang publik dan disuarakan—di segala sendi kehidupan—tentu saja boleh dengan berbagai cara, sesuai dengan jalan ninjanya masing-masing. 

Karena sejatinya politik adalah seni bernegosiasi untuk sebuah tujuan tertentu; dan untuk mengawalinya, tentu saja politik tidak berbicara tentang siapa di antara laki-laki atau perempuan yang padanya urusan domestik pantas diserahkan.

Sebagai contoh, jika laki-laki yang menjalani profesinya sebagai guru dianggap sebagai panggilan jiwa, lantas apakah ada yang salah jika perempuan ingin memenuhi panggilan jiwanya dengan terjun ke dunia politik? 

Sila tarik diri ke dalam—sila direnungkan. 

Tabik. 

Dibuat di Palembang, 18 Februari 2023. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun