Atau tengoklah ayah mendiang Brigadir J, Samuel Hutabarat, yang selama hampir tujuh bulan setelah meninggalnya anaknya tersebut kita ketahui selalu terlihat tenang justeru setelah vonis terdakwa Eliezer purna dibacakan justeru tampak emosional.Â
Menyoal kasus ini (baca: sepanjang drama pengungkapan kasus), ada semacam pertanyaan iseng yang mengusik pikiran saya. Ini tentu saja berangkat dari kehebohan yang terjadi di publik menyangkut kasus pembunuhan berencana ini.Â
Pertanyaannya lumayan menggelitik—jika tidak ingin dibilang aneh:
‌bagaimana jika Brigadir J yang meninggal di depan moncong senjata oleh Bharada E selaku eksekutor dalam kasus pembunuhan berencana itu bukan orang Batak?
Tidak bermaksud untuk melebih-lebihkan suku yang satu ini (sebisa mungkin saya obyektif ketika membuat tulisan ini), tapi boleh saya katakan, viralnya pengungkapan kasus meninggalnya Brigadir J telah memantik—alih-alih boleh saya katakan justeru malah mempertegas—etnosentrisme di kalangan masyarakat Batak.Â
Bagaimana tidak, saya merasa yakin sejak awal kasus ini mencuat ke permukaan, hampir di tiap kumpulan orang Batak berita ini hangat dibicarakan, yang kalau boleh saya katakan malah memperkuat etnosentrisme pada orang Batak yang sudah mengakar dengan kuat.Â
Saya bisa mengatakan demikian karena saya juga orang Batak. Saya lahir dari ayah dan ibu asli orang Batak—dan bukan kebetulan marga saya pun sama seperti ibu almarhum Brigadir J, Simanjuntak.Â
Seperti semua orang tahu, masyarakat Batak menganut sistem Patrilineal dari sang ayah berdasarkan marga (baca: suku Batak yang termasuk di jajaran atas yang paling sangat menonjol dalam menerapkan sistem ini di antara suku lain di Indonesia).Â
Baca juga:Â Menggelar Hari H Pernikahan Tidak Semudah Rahang Bilang Sayang
Hampir sebagian besar orang akan langsung bertanya apa setelahnya begitu seseorang menyebut kalau ia dari suku Batak (baca: marganya apa?).Â
Tidak perlu disangkal, identifikasi berdasarkan marga ini adalah sesuatu yang utama dan sangat mendasar dalam sistem kekerabatan suku Batak; sesuatu yang sangat vital.Â
‌Dengan marga, orang Batak akan tahu bagaimana "memposisikan dirinya" dalam keluarga besar atau dalam—memasuki—suatu kumpulan (baca: orang Batak menyebutnya punguan)—atau lingkungan pertemanan skala kecil sekalipun.
Biasanya, jika berkenalan dengan orang baru, orang Batak akan mencari pertalian yang paling dekat dari sisi keluarga dan mencocokkannya dengan tiap orang yang ia temui.Â