Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada Geliat Etnosentrisme Masyarakat Batak pada Kasus Brigadir J

15 Februari 2023   22:15 Diperbarui: 16 Februari 2023   06:27 1806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Brigadir J (Sumber via link Kompas)

Hari yang begitu ditunggu oleh khalayak—terlebih lagi bagi keluarga almarhum Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J—akhirnya tiba juga. Putusan vonis itu pun telah dibacakan. 

Tiga hari yang menjadi sorotan jutaan pasang mata. Mulai dari para praktisi hukum hingga rakyat biasa, tersita perhatiannya. 

Ya, majelis hakim yang diketuai Wahyu Iman Santoso itu menjatuhkan hukuman lumayan diluar dugaan—bahkan vonis untuk kelima terdakwa sangat jauh dari harapan tim jaksa penuntut umum. 

Empat terdakwa yakni Ferdy Sambo, Putri Chandrawati, Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf divonis jauh lebih berat dari tuntutan jaksa—kecuali Richard Eliezer. 

Richard Eliezer alias Bharada E hanya divonis 1 tahun 6 bulan. Status Justice Collaborator yang dilabeli padanya sejak kasus ini mencuat diterima oleh ketiga hakim. 

Tapi, bukan itu yang menjadi perhatian saya—melainkan kedua orang tua dari almarhum Brigadir J itu sendiri yaitu Rosti Simanjuntak dan Samuel Hutabarat—dua orang yang begitu vokal (baca: layak diberikan spotlight) sejak awal demi memperjuangkan keadilan bagi anak laki-laki mereka yang telah terbunuh.

Jika boleh berkata jujur, saya tak membantah jika saya selalu disergap perasaan iba tiap kali kedua orang tua almarhum Brigadir J tampil dimuka publik di tiap berita yang menyorot sosok mereka.

‌Rosti Simanjuntak dan Samuel Hutabarat perlahan menjadi news maker. 

Terlebih lagi Rosti Simanjuntak. Saya bisa merasakan pergolakan batinnya tiap kali ia diwawancara; rasa marah, tidak terima dan duka lara karena kepergian anak tercintanya, jelas bisa dengan mudah saya baca. 

Orang tua Alm. Brigadir J, Rosti Simanjuntak dan Samuel Hutabarat saat menghadiri persidangan (Sumber Kompas.id)
Orang tua Alm. Brigadir J, Rosti Simanjuntak dan Samuel Hutabarat saat menghadiri persidangan (Sumber Kompas.id)

Ibu mana yang menginginkan kematian anaknya, apalagi dengan cara dirampas seperti yang terjadi pada Rosti?

Baca juga: Ibu: Bahasa Cinta yang Menguatkan Sekaligus Melemahkan

Atau tengoklah ayah mendiang Brigadir J, Samuel Hutabarat, yang selama hampir tujuh bulan setelah meninggalnya anaknya tersebut kita ketahui selalu terlihat tenang justeru setelah vonis terdakwa Eliezer purna dibacakan justeru tampak emosional. 

Menyoal kasus ini (baca: sepanjang drama pengungkapan kasus), ada semacam pertanyaan iseng yang mengusik pikiran saya. Ini tentu saja berangkat dari kehebohan yang terjadi di publik menyangkut kasus pembunuhan berencana ini. 

Pertanyaannya lumayan menggelitik—jika tidak ingin dibilang aneh:

‌bagaimana jika Brigadir J yang meninggal di depan moncong senjata oleh Bharada E selaku eksekutor dalam kasus pembunuhan berencana itu bukan orang Batak?

Tidak bermaksud untuk melebih-lebihkan suku yang satu ini (sebisa mungkin saya obyektif ketika membuat tulisan ini), tapi boleh saya katakan, viralnya pengungkapan kasus meninggalnya Brigadir J telah memantik—alih-alih boleh saya katakan justeru malah mempertegas—etnosentrisme di kalangan masyarakat Batak. 

Bagaimana tidak, saya merasa yakin sejak awal kasus ini mencuat ke permukaan, hampir di tiap kumpulan orang Batak berita ini hangat dibicarakan, yang kalau boleh saya katakan malah memperkuat etnosentrisme pada orang Batak yang sudah mengakar dengan kuat. 

Saya bisa mengatakan demikian karena saya juga orang Batak. Saya lahir dari ayah dan ibu asli orang Batak—dan bukan kebetulan marga saya pun sama seperti ibu almarhum Brigadir J, Simanjuntak. 

Seperti semua orang tahu, masyarakat Batak menganut sistem Patrilineal dari sang ayah berdasarkan marga (baca: suku Batak yang termasuk di jajaran atas yang paling sangat menonjol dalam menerapkan sistem ini di antara suku lain di Indonesia). 

Baca juga: Menggelar Hari H Pernikahan Tidak Semudah Rahang Bilang Sayang

Hampir sebagian besar orang akan langsung bertanya apa setelahnya begitu seseorang menyebut kalau ia dari suku Batak (baca: marganya apa?). 

Tidak perlu disangkal, identifikasi berdasarkan marga ini adalah sesuatu yang utama dan sangat mendasar dalam sistem kekerabatan suku Batak; sesuatu yang sangat vital. 

‌Dengan marga, orang Batak akan tahu bagaimana "memposisikan dirinya" dalam keluarga besar atau dalam—memasuki—suatu kumpulan (baca: orang Batak menyebutnya punguan)—atau lingkungan pertemanan skala kecil sekalipun.

Biasanya, jika berkenalan dengan orang baru, orang Batak akan mencari pertalian yang paling dekat dari sisi keluarga dan mencocokkannya dengan tiap orang yang ia temui. 

Di sini acapkali rumit dan sering salah. Karena tidak semua orang Batak mengerti dengan baik silsilah marga—dan ini sering terjadi bagi mereka yang lahir di kota-kota besar, apalagi jika orang tuanya tidak terlalu mengajarkan dengan baik tentang hal itu. 

Potret Kamaruddin Simanjuntak, pengacara Brigadir J (Sumber Kompas.com)
Potret Kamaruddin Simanjuntak, pengacara Brigadir J (Sumber Kompas.com)

Sebagai orang berdarah Batak, saya tahu persis bagaimana pandangan orang-orang terhadap kami. Mulai dari dianggap selalu pandai bernyanyi, singa di tanah rantau—hingga si mulut besar. 

Untuk yang terakhir yang saya sebut, saya punya dagelan saya sendiri, "orang Batak itu mulutnya dulu yang maju, benar atau salah urusan belakang". 

Tak heran orang Batak dianggap terkemuka di bidang hukum—dan itu sepertinya terwakilkan melalui profesi pengacara. 

Semua berkat mulut besar yang acapkali terdengar barbar dan membuat orang lain gentar. 

Pada pengungkapan kasus Brigadir J ini misalnya, para praktisi yang terlibat beberapa pula ada yang berasal dari suku Batak seperti pengacara dari pihak korban yang diwakili oleh Kamaruddin Simanjuntak, Johnson Panjaitan dan tak ketinggalan Martin Lukas Simanjuntak;
dari pihak terdakwa Ferdy Sambo ada Rasamala Aritonang dan tentu saja Berlian Simbolon; di kubu Putri Chandrawati sejak awal ada Sarmauli Simangunsong—bahkan salah satu hakim yang memimpin jalannya sidang juga orang berdarah Batak, Morgan Simanjuntak.

‌Pengungkapan kasus pembunuhan berencana yang menimpa almarhum Brigadir J ini tak ubahnya seperti meja dadu bagi orang-orang Batak yang sedang berseteru. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etnosentrisme adalah pandangan dan sikap masyarakat yang cenderung meremehkan kebudayaan lain—

dan sebagai orang Batak, saya tak menyangkal, karena itu benar adanya: orang Batak acapkali merasa dirinya superior dibandingkan suku lain. Saya rasa orang Batak harus mau mengakui ini. 

Singkatnya, etnosentrisme pada masyarakat Batak membawa fanatisme yang berlebih dalam kehidupan kami sehari-hari.

Namun, meskipun demikian, secara jujur saya akui pula, etnosentrisme tidak selalu berdampak buruk. Itu terlihat dari bagaimana orang-orang Batak dalam menjalankan tiap sendi kehidupannya: prinsip luhur kesukuannya dan atau tradisinya—(baca: adat istiadatnya), dengan menerapkan kesemuanya itulah kami dapat bertahan, dapat mempertahankan eksistensi diri di tengah-tengah tantangan zaman. 

Ilustrasi orang Batak menari tor-tor saat menghadiri pesta adat. (Sumber via link Kompas.com)
Ilustrasi orang Batak menari tor-tor saat menghadiri pesta adat. (Sumber via link Kompas.com)

Atau dengan kata lain, berangkat dari latar belakang kebudayaan yang sama tersebut, orang-orang Batak cenderung mudah beradaptasi dengan terutama pada sesamanya—bahkan di tanah rantau sekalipun—

Karena hal pertama yang dilakukan orang Batak pertama kali di tanah rantau adalah mencari sesama sukunya sendiri. Ini seperti pakem yang "wajib" yang selalu dilakukan orang Batak atau ketika memasuki wilayah "baru". 

Sehingga, tak heran ada istilah dalam masyarakat Batak "di manapun orang Batak berada dan berpijak, dia tak pernah sendiri"—

‌Ini mustahil terjadi jika orang Batak tidak memiliki kesadaran penuh untuk membentuk sistem kekerabatan yang kental di antara sesamanya.

Saya tidak bermaksud mencari celah kekurangan dari suku saya sendiri apalagi sengaja membuatnya dipandang buruk oleh suku lain ; saya hanya ingin berusaha jujur—walaupun hanya di lapisan kulit luar. 

Karena yang saya pahami, rasa bangga akan selalu sepaket dengan keikhlasan untuk dikritik. 

Tabik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun