Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Belajar dari Gita Savitri: Sejak Kapan Influencer Harus Jaga Perasaan Warganet?

14 Februari 2023   02:32 Diperbarui: 22 September 2024   13:48 1570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dua orang yang sedang live podcast. (Sumber Pexel | Foto oleh George Milton)

Menyoal pesatnya kemajuan internet, jika kita ingin ambil pembanding, pada satu dekade yang lalu, kita masih—dapat dikatakan—mengandalkan televisi sebagai sumber informasi dan hiburan.

Tapi, sekarang, lihatlah, rasanya tak satupun dari kita bersedia lagi didikte untuk itu. Apalagi sejak teknologi internet ditanamkan pada telepon pintar alias smartphone—yang mungkin hampir dari setiap kita memilikinya (baca: terutama bagi kita yang berada di kota-kota besar).

Berdasarkan dari laporan firma riset data.ai bertajuk State of Mobile 2023, masyarakat Indonesia berada di urutan pertama di dunia yang paling lama menggunakan internet pada tahun 2022 dengan durasi rata-rata penggunaan 5,7 jam per hari (sumber: Orang Indonesia berada di posisi pertama kategori pengguna smartphone dengan durasi screentime paling tinggi di dunia). 

Urutan kedua diduduki Brasil dengan durasi 5,3 jam, dan Arab Saudi dengan durasi yang sama. Urutan selanjutnya diikuti Singapura dan Korea Selatan.

Masih dari riset, durasi penggunaan internet orang Indonesia memang naik tajam sejak pandemi 2020 lalu; data 2022 ini menunjukkan 5,56% peningkatan jika dibandingkan setahun sebelumnya—pada 2021, rata-rata penduduk Indonesia menggunakan internet selama 5,4 jam per hari.

Merujuk pada hal tersebutlah bisa dikatakan perlahan internet mengubah cara hidup kita—gaya hidup kita, cara kita berinteraksi—bahkan saya berani mengatakan bahwa internet juga dewasa ini dapat digunakan sebagai alat ukur adab dan moral seseorang.

Suatu kali saya pernah nyeletuk begini pada adik saya pada satu obrolan "bobroknya moral orang-orang Indonesia sekarang, nggak jauh-jauh dari pengaruh internet". Saya tak begitu ingat persis pasalnya karena apa, tahu-tahu respon saya sudah begitu.

Ucapan frontal saya tersebut sepertinya terasa linear dengan trending yang baru-baru ini terjadi di linimasa yang saya ikuti (baca: Twitter) menyoal sosok Gita Savitri beserta child free-nya.

Baca juga: Gita Savitri dari Child Free sampai Anti Aging Alami, Ini 4 Alasan untuk Bersikap Biasa-biasa Saja

Wadah ekspresi

Seperti yang sudah saya singgung, selain internet memudahkan cara-cara kerja hidup kita, sumbangsih lain dari internet adalah memberikan para penggunanya wadah berekspresi.

Melalui internet dengan mudah kita temui status receh hingga opini tingkat tinggi; atau berita yang dibalut dengan narasi pop sehari-hari hingga yang dibawakan dengan gaya bahasa akademisi.

Ilustrasi dua orang yang sedang live podcast. (Sumber Pexel | Foto oleh George Milton)
Ilustrasi dua orang yang sedang live podcast. (Sumber Pexel | Foto oleh George Milton)

Platform medianya juga bermacam-macam dengan cara penyajian yang bermacam-macam pula—dan dari sanalah kita mengenal banyak istilah seperti selebtwit, selebgram, tiktoker, youtuber, podcaster—dan lain sebagainya.

Namun, mari kita sederhanakan saja mereka menjadi satu kata: influencer—meskipun mereka berangkat dari latar belakang pendidikan dan profesi yang berbeda-beda. 

Influencer dan persona yang ingin ditampilkannya

Ada anekdot yang cukup membuat telinga saya panas yang isinya kurang lebih menyatakan "alangkah bodohnya seseorang jika di era internet seperti sekarang tidak piawai menghasilkan uang"; mendengarnya saya gemas bukan kepalang.

Karena saya rasa tidak semua orang bernafsu menghasilkan uang dengan cara-cara instan contohnya seperti clickbait tipuan atau dengan prank buatan?

Tapi, bagaimana dengan sosok seorang influencer? 

Sebagai mana kita tahu, influencer berperan penting membentuk pola pikir masyarakat—atau setidaknya menggiring (baca: opini) pada tujuan-tujuan tertentu, dengan atau tanpa disengaja. 

Untuk itulah seorang influencer dituntut memiliki gaya komunikasi yang mumpuni yang khas mencirikan siapa dirinya (baca: persona); influencer memiliki segmentasi pasarnya sendiri. 

Deddy Corbuzier dengan jargon smart people-nya, Agnes Mo dengan pribadi multi talenta-nya yang mendunia, Najwa Shihab dengan persona kritis yang dibawanya kemana-mana—dan para influencer lainnya, atau seperti Gita Savitri yang heboh belakangan ini dengan tolok ukur awet mudanya melalui child free; Mereka dianggap sebagai sosok-sosok yang memiliki pengaruh lebih dibandingkan masyarakat biasa (baca: warganet).

Nama terakhir yang saya sebutkan tengah jadi buah bibir. Ya, ia adalah Gita Savitri. Keputusannya (bersama pasangannya, Paul Partohap) yang memilih child free dianggap warganet berbanding terbalik dengan tulisan yang pernah ia tulis pada blognya pada tahun 2015 silam.

Di sana, secara gamblang ia menulis semoga ia dapat mendidik dengan baik anak-anaknya kelak.

Baca juga: Menulis di Antara Jebakan Rutinitas, Memang Demi Apa?

Warganet sepertinya murka dengan pernyataan Gita. Ia diserang karena opininya yang menyatakan child free sebagai tolok ukurnya terlihat awet muda.

Padahal, menurut hemat saya, ini lebih menitikberatkan perbedaan paham dan frekuensi: tak semua orang sepaham dengan Gita Savitri (baca: alih-alih satu frekuensi dan bisa menerimanya dengan logika)—ataupun sebaliknya. 

Gita mungkin memandang warna Biru sebagai Nila dari tempatnya berpijak—dan warganet yang kontra dengan pahamnya tersebut, bersebrangan dengannya—dari tempat mereka berpijak pula.

Lantas apa yang terjadi setelahnya? 

Tentu saja, Gita Savitri dikritik di sana-sini. Ia bahkan dihujat habis-habisan. Untung tidak dapat diraih (baca: boleh jadi Gita ingin mendapat validasi menyoal child free?), malang tidak dapat ditolak.

Pada akhirnya Gita lepas kendali setelah beberapa warganet ia anggap menciderainya secara personal bahkan sampai mengeluarkan sumpah serapah terhadap dirinya. 

Ia pun lantas membuat klarifikasi live pada akun media sosialnya—dan apa yang dikatakannya semakin memperburuk situasi yang sudah buruk.

Ilustrasi seseorang yang menyaksikan live video dari seorang influencer. (Sumber Pexel | Foto oleh Joseph Redfield) 
Ilustrasi seseorang yang menyaksikan live video dari seorang influencer. (Sumber Pexel | Foto oleh Joseph Redfield) 

Warganet pun kaget Gitasav alias Gita Savitri ini bisa marah-marah pakai mukanya sendiri, bukan berlindung di balik avatar kpop atau anime.

Influencer harus sadar konsekuensi? 

Jamak kita dengar bahwa: 

Influencer harus sadar konsekuensi atas pilihannya menjadi figur masyarakat.

Masyarakat menuntutnya (baca: influencer) untuk selalu positive vibe—ia seolah diultimatum untuk taat aturan yang sifatnya mengikat dan tidak bebas nilai. 

Seorang influencer pada akhirnya "digurui" dengan definisi:

"ketika ilmu pengetahuan bertambah yang bertambah seharusnya kebijaksanaannya untuk menahan diri (baca: berempati pada society)—bukan malah menumpuk dan mempertegas ego.

Bahasa sederhananya, influencer dilarang berpendapat sesuka hati.

Tapi, kan, influencer juga manusia? 

Sayangnya, tidak semua orang tahu akan hal ini; jika semua orang paham, maka aman dan tentram dunia. 

Layaknya gonjang-ganjing Gita ini, people just literally got angry cause she didn't respon the way that they wanted. 

Lemme say this: you can't control everything, guys, why you so mad?—dan untuk Gita, semua orang yang kontra mungkin cuma ingin bilang: being a mother is learning about strengths you didn't know you had and dealing with fears you never knew existed.

Dari dua pihak

Ada aksi ada reaksi, ini hukum kimia yang sangat dasar yang kita bawa ke kehidupan kita sehari-hari. 

Layaknya trending Gita Savitri yang pelik ini, seperti warganet yang juga manusia, pun dengan Gita sebagai sosok influencer yang jadi muasal gonjang-ganjing ini tercipta, Gita juga berhak marah. 

Hingga pada akhirnya izinkan saya mengatakan ini, attitude tidak berbicara pada satu pihak saja. 

Pertanyaan pentingnya adalah sejak kapan influencer harus jaga perasaan warganet? 

Jawabnya mungkin tidak ada waktu yang benar-benar spesifik karena sejak awal kita sendirilah yang punya standar pada siapa orang yang ingin kita jadikan sebagai orang yang memiliki pengaruh (baca: influencer) dalam hidup kita—

dan jika suatu saat nanti influencer tersebut menciderai citranya sendiri, kita diperbolehkan kembali pada titik awal bahwa: influencer juga manusia. 

Lagipula, influencer juga warganet, saudara-saudara, bedanya terletak pada jumlah followers aja.

Iya nggak? 

Tabik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun