Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu sosial-budaya dan gender | Kontak: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kafka dan Sebuah Pengakuan

1 September 2021   21:43 Diperbarui: 1 September 2021   22:11 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang laki-laki dan keinginan terdalamnya. (Sumber: Pexel | Olya Prutskova) 

          Konon desas-desusnya dua orang itu akhirnya saling jatuh cinta. Tetapi, karena sejak awal saling sikut untuk terlihat paling menonjol, keduanya belum menemukan kesepakatan untuk saling menemukan titik temu dari apa yang mereka rasakan. Lagipula, Kafka tidak tertarik untuk mencari tahu soal itu.

         Sakit kepalanya hari ini karena rindu—ia merindukan ibunya. Rindu yang tidak cukup diselesaikan dengan bertelepon atau bersua kabar lewat sambungan video call aplikasi.

          Sudah dua tahun Kafka memilih tidak pulang ke Medan. Padahal, uang tidak jadi masalah untuknya jika hanya untuk menyinggahi kampung halaman. Ia terbilang mapan untuk ukuran laki-laki dengan kelas ekonomi menengah ke atas. Sekedar tiket pesawat komersil pulang-pergi kelas mahal pun, ia sanggup membayarnya.

          Di Jakarta Kafka bekerja di sebuah perusahaan periklanan sebagai seorang Senior Art Director. Ia membawahi lima belas anak buah—termasuk Hema dan Dini—dengan gaji tak kurang dari tiga puluh lima juta per bulan. Kafka pernah menggoda Nosa suatu hari bahwa gadis itu tidak akan kekurangan pasal uang jika mereka memutuskan menikah—sesuatu yang selalu dituntut sebagai kriteria oleh kebanyakan perempuan di luar sana dari calon pasangannya. Terpujilah Tuhan, Nosa yang ia kenal bukan seperti salah satu dari mereka.

          "Untuk apa kau melakukannya?" tanyanya. Ia masih berdiri di tempatnya, saling menyilangkan kedua tangannya di dada. Ada telisik bercampur keprihatinan dalam tatapannya terhadap laki-laki itu. "Bukan kebetulan aku mengenalmu, Kafka. Aku mungkin ditakdirkan untuk jadi penolongmu," perlahan Nosa berjalan ke arah sofa berwarna kuning, berseberangan dengan di mana Kafka duduk, "aku berani bertaruh, keberadaanku sekarang di sini, tidak cuma sekadar seperti seorang teman yang sudah lama tidak berkunjung bukan?"

          Sia-sia menyembunyikan sesuatu di hadapan Nosa. Kafka sudah mulai berpikiran jika Nosa kian hari kian menjelma seperti ibunya; di hadapan perempuan paruh baya itu, Kafka terlampau lemah untuk menyimpan dengan baik tentang apapun yang sekiranya mampu untuk ia sembunyikan.

          "Aku merindukan Mama seminggu belakangan ini, dan hari ini sepertinya puncaknya. Tapi, kau tahu pasti, rasa ini benar-benar jadi siksaan untukku."

          Perempuan paruh baya yang dipanggil Kafka dengan sebutan Mama itu adalah Madelaine, seorang perempuan yang welas asih. Ia perempuan yang sangat mencintai ketiga anaknya. Dengan segenap kasih dan sayang, ia membesarkan ketiganya sehingga ketiganya tumbuh sebagai manusia-manusia dengan panjang sabar—dan kepiawaian warisannya itu selalu terbukti. Kafka dan kedua kakak perempuannya mempraktikkannya dengan baik.

          Dan duo cantik nan menawan yang mewarisi keindahan parasnya—Uli dan Marta—adalah dua beradik yang terpaut hanya setahun sepuluh bulan. Laki-laki Batak yang menikahnya tidak ingin berlama-lama menunggu untuk punya anak lagi setelah kelahiran Uli, si sulung. Saat melahirkan Uli, usianya hampir dua puluh tiga tahun. Menikah diusia yang terbilang muda. Pertemuannya pertama kali dengan Amos adalah ketika ia datang melancong ke Danau Toba. Disaat yang sama, Amos berpiknik ria dengan beberapa teman kampusnya. 

          Madelaine sendiri bekerja sebagai seorang penerjemah bahasa Belanda, dan kedua orangtuanya—Opa dan Oma Kafka bersaudara—sudah menetap di Indonesia sejak Madelaine masih remaja. Selain pekerjaannya sebagai penerjemah—sejak ia mengandung Marta—kadang Madelaine diminta pula untuk memberikan sedikit lecture mengenai Sastra-Indo-Belanda. Tentu saja ia mewarisi bakat sastra dari ayahnya, sementara ibu Madelaine adalah perawat rumah sakit sebelum memasuki masa pensiun.

          Madelaine sangat mencintai Amos, suaminya—pun begitu sebaliknya, cinta Amos hanya untuknya: keduanya saling kukuh dan teguh mencintai. Sesuatu yang kelak juga ingin dapat dilakukan anak laki-laki mereka—satu-satunya—dengan baik terhadap pasangannya—pada saatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun