Memang ilmu ini bisa dipraktikkan seiring dengan niat dan kemauan (baca: berkaca dari pengalaman orangtua atau orang lain—atau malah dari buku-buku parenting yang banyak dijual)—tapi, tak sedikit orang yang masih cemas hanya karena merasa tidak—akan—mampu melakukannya saat menjalankan perannya sebagai orangtua.
Dengan kata lain, tak semua orang benar-benar siap menjadi orangtua karena untuk menjadi orangtua dibutuhkan rasa tanggung jawab (baca: secara lahir dan batin)—alih-alih mempersiapkan sang anak sebagai "investasi" untuk balas budi—apalagi menakut-nakutinya dengan segala hal yang berbau agama—dan atau kitab suci. Seorang anak tidak minta dilahirkan ke dunia. Tetapi, sebagai manusia yang dewasa secara berpikir, manusia bisa mengambil keputusan bijak untuk memiliki anak—atau tidak.Â
Finansial yang jadi acuan
Urusan finansial akan menunjukkan taringnya pula (baca: jika tidak sesuai harapan) bagi seseorang dalam memilih untuk childfree: tidak semua orang ditakdirkan berdaya secara ekonomi—alih-alih sangat pas-pasan dalam menjalani hidup, bahkan cenderung kekurangan.
Sulitnya menjalani hidup yang demikian tentu saja sangat mempengaruhi, dan childfree boleh jadi pilihan (baca: tentu saja harus dikomunikasikan terlebih dulu dengan pasangan).
Kesehatan yang tidak—selalu—sehat
Lebih awal atau tidak untuk diketahui, faktor kesehatan juga berperan sehingga medical check up sebenarnya sangat diperlukan (baca: sayangnya, tak semua orang peduli akan hal ini, termasuk masalah kesehatan reproduksi).
Bagi saya pribadi, seseorang yang bertanggungjawab adalah seseorang yang tidak memaksakan keadaan untuk memiliki anak padahal ia tahu bahwa kesehatannya tidak cukup baik ke depannya.
Social justice warrior
Tidak egois terhadap masa depan dalam pernikahan yang—akan—dijalani, mungkin pula jadi salah satu alasan mengapa seseorang (baca: beserta pasangannya) memilih untuk childfree—alih-alih memperjuangkannya.
Bagi mereka yang memilih childfree akan sangat bijak untuk tidak menambah populasi dunia (baca: secara  jumlah kuantitas) dengan hadirnya anak dalam pernikahan—itu dilakukan agar banyak anak-anak yang kurang beruntung di dunia ini dapat diselamatkan.Â
Terkesan tidak masuk akal? Bisa jadi—tapi ini alasan valid untuk dijadikan pertimbangan!
Keputusan Gita Savitri—dan pasangannya—yang memilih childfree sebenarnya diam-diam diingini sebagian besar orang-orang—sebagian besar dari kita (baca: asal kita mau jujur terhadap diri sendiri disertai dengan berpikir jernih; tanpa tekanan tanpa harus memenuhi ekspektasi orang lain, termasuk orangtua sendiri)—hanya saja tak banyak yang berani mengakui itu, apalagi sanggup melakukannya.Â
Pada akhirnya, memang tidak ada yang salah dengan keputusan Gita Savitri (dan pasangannya) yang memilih childfree: mereka sadar dengan pilihan mereka itu dan berani mempertanggungjawabkannya sejauh ini—yang salah (dan menurut saya bisa jadi bumerang bagi diri mereka karena berpotensi mengkhianati prinsip yang telah dibuat) adalah Gita tidak memberi penjelasan mengenai relevansinya di masa depan: pilihan yang dibuatnya beserta pasangannya itu kelak bisa saja berubah. Who knows?
Karena sekeras apapun manusia memperjuangkan pilihan tetap saja masih ada takdir Tuhan yang lebih berhak memutuskan.
Tabik.
Disclaimer: