Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keputusan Gita Savitri yang Memilih Childfree, Diam-Diam Sebenarnya Kita Ingini

23 Agustus 2021   05:39 Diperbarui: 23 Agustus 2021   20:52 994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak bisa jadi menghadirkan kebahagiaan, tapi bukan satu-satunya faktor kebahagiaan dalam pernikahan. (Sumber: Pexel | Foto oleh Dominika Roselay) 

Selama seseorang tersebut tidak mendikte orang lain atau tidak berupaya memaksakan cara pandangnya itu, pilihannya untuk childfree sah-sah saja (baca: selama dia mengomunikasikannya dengan pasangannya dalam ikatan pernikahan), sekalipun boleh jadi orang itu akan "berdiri" di antara pujian dan cibiran. 

Itu pula yang sedang dilakukan Gita Savitri (baca: atau tengah dihadapi)—beserta pasangan hidupnya. 

Mental Issue

Keputusan seseorang untuk childfree tidak hadir begitu saja, tidak secepat saat seseorang memilih biru atau merah sebagai warna kesukaan—percayalah, childfree sangat memerlukan pertimbangan, bahkan boleh jadi hal itu akan terjadi (baca: mungkin) sebelum pernikahan dilaksanakan. 

Salah satu pertimbangan yang saya maksud di antaranya adalah menyoal mental issue.

Ada banyak mental issue yang menyertai keputusan seseorang untuk childfree.

#1 Trauma masa lalu

Saya menempatkan ini sebagai pointer teratas dalam daftar mental issue—dan kejadian-kejadian di masa lalu adalah bahan bakarnya, apalagi jika itu menimbulkan luka batin yang dibawa hingga dewasa.

Trauma tidak mudah untuk sembuh—alih-alih sepenuhnya dilupakan.

#2 Kematangan emosi

Emosi yang stabil adalah salah satu kunci mengapa seseorang memilih childfree. Karena, tak semua orang berani mengakui bahwa mereka tidak mampu matang dalam mengelola emosi seperti sedih, mudah jengkel, cepat tersinggung, banyak menduga-duga dan berprasangka—serta tentu saja mudah marah.

Selain itu tidak semua orang mampu melakukan self acceptance yang baik terhadap dirinya sendiri sekalipun orang tersebut telah membuat batasan-batasannya (boundaries) dalam menjalani hidup.

#3 Ilmu parenting

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun