"Banyak sekali kasus yang kulihat di mana orang tua mengusir anak dari rumah hanya karena pilihan sang anak dianggap menyerang harga diri orang tua atau mencoreng kehormatan keluarga. Banyak orang tua menagih pengabdian anak karena merasa telah berkorban waktu, tenaga dan materi untuk membesarkan sang anak."
Gonjang-ganjing itu dimulai dari Gita Savitri yang kukuh dengan keteguhan hatinya untuk memilih childfree (baca: petikan di atas adalah bagian dari ucapannya) dan hanya karena satu prinsip hidup itulah—yang hingga saat ini dia yakini bersama pasangannya—Gita jadi buah bibir di antara khalayak.
Padahal saya rasa apa yang dikatakannya murni personal reason, dan hal itu tidak semata-mata meluncur begitu rupa (baca: untuk diketahui oleh orang banyak) jika tidak ada yang memancingnya berkata demikian—meskipun sudah menjadi hukum tak tertulis (dan tak terbantahkan jika boleh saya tambahkan) bahwa segala sesuatu yang sudah singgah di ruang publik tidak lagi murni menjadi milik orang yang mengatakannya: di dunia digital dewasa ini—yang semuanya bisa bergerak sangat masif—semua orang sudah membuktikannya!
Sebuah pilihan
Sungguh dengan berat hati saya katakan jika seseorang yang menolak keputusan seseorang yang lainnya untuk childfree adalah orang yang tidak bisa menghargai perbedaan (baca: hanya karena dia berbeda pilihan dengan mereka yang tidak—ingin—memiliki anak dalam sebuah pernikahan).
Baca juga:Â Menyoal Pernikahan: Cinta Itu Harus Memiliki, Jika Tidak, Wajib Disudahi
Memiliki anak tidak selalu berbanding lurus dengan bahagia atau tidaknya sebuah pernikahan yang dijalani karena bahagia atau tidaknya seseorang tak selalu ditentukan oleh sebab dari luar melainkan diri sendiri—meskipun jujur boleh saya katakan bahwa bagi sebagian besar orang kebahagiaan sebuah pernikahan ditentukan dengan kehadiran seorang anak.
Tapi, benarkah demikian? Atau, kebanyakan orang memang lebih "senang" hidup dalam tekanan—alih-alih benar-benar merasakan kebahagiaan?
Dengan kata lain, bukankah hidup akan lebih tentram jika masa depan (baca: dalam pernikahan) tidak harus diisi dengan ragam tuntutan yang melelahkan?—; bukankah pernikahan dengan keputusan (baca: pilihan) tanpa memiliki anak pun memiliki kebahagiaannya sendiri?
Lebih dari itu bukankah pernikahan hanya satu dari sekian banyak cara seseorang merasakan kebahagiaan?; bukankah ada banyak alasan mengapa seseorang menikah layaknya alasan seperti menginginkan seseorang untuk berbagi kasih sayang dalam sedih dan senang, ingin mendapatkan rasa aman, memperoleh ketentraman, dlsb?—dan jika acuannya itu (baca: merasakan kebahagiaan), bukankah kehadiran anak tidak menjadi syarat mutlak—apalagi satu-satunya?
Lalu, izinkan saya mengatakan ini:Â
bukankah pilihan seseorang untuk childfree (dalam sebuah pernikahan) adalah sama kedudukannya (setara) dengan pilihan orang lain untuk memiliki sepuluh anak (bahkan lebih) jika memang menginginkannya?
Baca juga:Â Menggelar Hari H Pernikahan Tidak Semudah Rahang Bilang Sayang
Jika demikian, lantas, mengapa keputusan Gita Savitri—dan pasangannya—untuk childfree terlalu mendapat perhatian seolah menjadi pusat semesta alam?
Valid
Sama halnya dengan keputusan untuk segera memiliki anak setelah hari h pernikahan (dengan segala alasan yang menyertainya) yang adalah valid—maka keputusan untuk childfree oleh seseorang pun juga demikian.
Karena tiap orang memiliki cara pandangnya sendiri (begitu pun dengan jalan hidup yang dipilihnya)—dan tentu pula ada prosesnya masing-masing yang melatarbelakangi.