Manusia itu terkadang menjadi makhluk paling lucu dalam menyikapi cinta dan asmara. Betapa tidak, ambil contoh, tidak ingin diduakan tapi mencari pembenaran ketika—akan atau telah—melakukannya. Hingga, patah hati pun boleh jadi tak terelakkan.Â
Boro-boro memikirkan hukum tabur-tuai.
Mari bicara perihal patah hati yang muasalnya cinta segitiga.Â
Cinta segitiga dan segala turunannya adalah bentuk kegagalan satu individu mengemukakan apa yang menjadi kebutuhan dan keinginannya terhadap pasangannya—dan mengkomunikasikannya. Itu menjadi definisi tak terbantahkan selain memang tabiat yang mudah "tergoda" terhadap orang lain di luar pasangannya.
Baca juga: Hey, Ini Bacaan Saat Kau Gagal
Setelahnya—seolah bisa ditebak—(baca: jika musababnya cinta segitiga) maka kemungkinan rusaknya hubungan selalu terbuka lebar. Itu hukum alam walaupun boleh jadi ada saja figur-figur yang penuh welas asih untuk memaafkan perbuatan semacam itu.Â
Tapi, saya rasa itu tidak banyak—setidaknya saya mengatakan ini berlaku untuk pasangan-pasangan yang menjalin komitmen sebelum menikah (baca: hubungan yang melibatkan banyak hal diluar dari mementingkan perasaan diri sendiri).
Baca juga: Menyoal Pernikahan: Cinta Itu Harus Memiliki, Jika Tidak, Wajib Disudahi
Baca juga:Â Masih Betah Melajang? 6 Hal Ini yang Mungkin Jadi Alasan
Saya bantu pertegas lagi, rusaknya hubungan akan selalu berhubungan erat dengan patah hati. Itu bisa dimaklumi. "Menikmati" patah hati (baca: meskipun tak satupun orang menginginkannya terjadi) tak semudah menjatuhkan hati terhadap dia untuk pertama kali.
Terlalu memberi hatilah yang jadi musababnya; tak memberi ruang pada diri sendiri untuk mawas, padahal tak menutup kemungkinan seseorang yang padanya dititipkan hati bisa saja bermain "api".
Sayangnya, perihal asmara, jutaan orang di bawah kolong langit ini, ya kebanyakan begitu:Â kejadian dulu, antisipasi dilewatkan.
Ups.