Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

"Komat-kamit Covid", Bertahanlah untuk Hidup Itu Lebih dari Cukup!

8 Juli 2021   12:09 Diperbarui: 9 Juli 2021   19:00 1149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kecemasan adalah momok menakutkan bagi setiap orang. (Sumber: Pexel/Foto oleh  Matheus Bertelli)

Sejak pandemi melanda, jujur saya akui, tanpa sadar saya memiliki dua ritual "wajib" yang saya lakukan setiap pagi: mencium bau badan sendiri dan memasukkan sesuatu—baik makanan atau minuman—ke rongga mulut.

Mungkin apa yang saya lakukan terbilang aneh—alih-alih menggelikan. Tapi, tak apa-apa. Lagipula, kalaupun orang-orang tertawa, apa peduli saya?

Tah, saya melakukan keduanya hanya demi memastikan hidung dan lidah saya masih “bekerja”—walaupun saya tahu selalu saja ada kemungkinan untuk virus itu (baca: Covid-19) mengelabui indera saya tanpa menunjukkan gejala.

Menyoal virus Covid-19 yang sudah menjadi pandemi ini, kasusnya memanglah belum benar-benar melandai (baca: malah meningkat belakangan ini)—alih-alih usai. 

Diketahui sudah tak berbilang orang kehilangan pekerjaan—pun nyawa yang melayang; dia jelas sudah menawarkan rasa cemas di tiap kepala orang-orang, jika tidak ingin dikatakan dia lah yang boleh jadi berpotensi merontokkan mental dari jiwa-jiwa manusia yang optimis. Saya salah satu contohnya. 

Rasa "tentram" yang coba setiap hari saya bangun ulang terkadang pelan-pelan surut digantikan kecemasan dan itu kerap saya tuai setelah saya mengintip laman Twitter saya (baca: Twitter adalah adalah salah satu laman media sosial yang jadi acuan tempat saya mendapatkan kabar-kabar terkini)—apalagi belakangan ini, saat lonjakan kasus Covid kian meninggi. 

Menyoal mengatasi kecemasan, saya tidak bisa dikatakan ulung; masih—terbilang—amatiran. Derita yang paling dekat yang bisa saya rasakan dari kecemasan yang terkadang sekonyong-konyong hadir adalah asam lambung yang naik atau kepala yang mendadak sakit—parahnya terkadang kombinasi keduanya. Kalau sudah begitu, obat maag dan pereda sakit kepala tak akan jauh-jauh dari saya. 

Tapi—lagi-lagi—perkara yang tengah dihadapi ini soal lain

Covid-19 tak sekadar berbicara tentang kecemasan pada sesuatu yang tak bisa saya kuasai dengan baik; dia bukan kecemasan yang biasa-biasa saja: dia meneror siapapun (baca: tak kenal usia dan status sosial) berikut dengan segala kengerian dan kesusahan yang diakibatkan olehnya.

Satu kisahnya tanpa sengaja lewat di laman Twitter saya beberapa hari yang lalu.

Seseorang kehilangan bibi kesayangannya (baca: yang juga menjadi bibi satu-satunya). Sang bibi meninggal setelah anaknya meninggal—dan bibinya tersebut meninggal tanpa pernah tahu anaknya telah meninggal.

Tetapi, bagian yang paling membuat sedih adalah sang paman (baca: suami dari bibinya itu) yang juga tengah dirawat di rumah sakit belum tahu kalau isteri dan anaknya itu telah meninggal—akibat Covid (virus yang sama seperti yang menyerang tubuhnya dan yang membuat tubuhnya tersebut terkapar lagi tak berdaya).

Setelah mengetahui itu saya tak bisa berkata-kata. Membayangkannya saja jelas membuat sesak dada saya. Saya rasa tak ada satupun orang yang siap merasakan kehilangan yang tak cukup "satu" seperti itu. 

Tapi, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak; takdir Tuhan lah yang jadi pemutus segalanya.

Kalau sudah begitu (baca: mengetahui berita-berita yang menyusahkan hati yang diakibatkan pandemi Covid ini)—biasanya—saya langsung buru-buru mengalihkan perhatian. 

Langkah pertamanya tentu saja menutup laman media sosial, menarik napas lalu menyibukkan diri pada sesuatu yang bisa saya kerjakan.

Pada intinya, saya tak mau berita-berita kesedihan melenyapkan lagi harapan saya tentang bayangan kehidupan yang lebih baik di masa depan (walau tak saya pungkiri berita-berita tak mengenakkan seperti tadi membuat saya lebih mawas diri).

Sekarang, tak ada yang lebih penting selain bertahan hidup.

Saya selalu mencekoki sugesti itu tiap hari—alih-alih tiap jam, menit dan detik—ke dalam kepala saya.

Cukup itu dulu—dan itu lebih dari cukup.

Jauh dalam hati, saya mencoba memancing gelak demi menghibur diri sendiri “tunda dulu keinginan untuk menjadi kaya, tunggu sampai pada masanya”.

Karena tidak mungkin menjadi kaya, jika sudah kehilangan nyawa—dan untuk bertahan hidup, saya harus memastikan diri saya dan sirkel terdekat saya dalam keadaan baik-baik saja.

Dalam keadaan genting seperti ini, cuma itu yang terpenting. Tak ada yang lain. Meski pada prosesnya saya diharuskan untuk tetap selalu berjaga-jaga terhadap diri sendiri lalu setelahnya “menjaga” mereka yang ada dalam penjagaan saya.

Tapi, yang jelas saya tidak sendiri. Tentu ada banyak orang yang juga melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan—dan itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang masih memiliki nurani serta rasa kasih sayang yang tinggi pada setiap orang yang mereka cintai—alih-alih untuk kemaslahatan bersama; hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang di mulutnya tak sanggup mengatakan jika Covid ini hanyalah konspirasi. 

Sekarang tak ada yang lebih penting selain bertahan hidup.

Ya, cukup itu dulu—dan itu lebih dari cukup.

Karena dengan bertahan hidup berarti seseorang tidak kehilangan harapan. Karena di dalam harapanlah sejatinya jantung kehidupan.

Tabik.

PS:

Selalu carilah alasan untuk bertahan hidup, kawan. Tetaplah terus hidup. Demi kita masing-masing dan demi orang-orang yang kita sayangi. Semoga pandemi ini berlalu, semoga keadaan kita lebih baik setelahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun