Sejak pandemi melanda, jujur saya akui, tanpa sadar saya memiliki dua ritual "wajib" yang saya lakukan setiap pagi: mencium bau badan sendiri dan memasukkan sesuatu—baik makanan atau minuman—ke rongga mulut.
Mungkin apa yang saya lakukan terbilang aneh—alih-alih menggelikan. Tapi, tak apa-apa. Lagipula, kalaupun orang-orang tertawa, apa peduli saya?
Tah, saya melakukan keduanya hanya demi memastikan hidung dan lidah saya masih “bekerja”—walaupun saya tahu selalu saja ada kemungkinan untuk virus itu (baca: Covid-19) mengelabui indera saya tanpa menunjukkan gejala.
Menyoal virus Covid-19 yang sudah menjadi pandemi ini, kasusnya memanglah belum benar-benar melandai (baca: malah meningkat belakangan ini)—alih-alih usai.
Diketahui sudah tak berbilang orang kehilangan pekerjaan—pun nyawa yang melayang; dia jelas sudah menawarkan rasa cemas di tiap kepala orang-orang, jika tidak ingin dikatakan dia lah yang boleh jadi berpotensi merontokkan mental dari jiwa-jiwa manusia yang optimis. Saya salah satu contohnya.
Rasa "tentram" yang coba setiap hari saya bangun ulang terkadang pelan-pelan surut digantikan kecemasan dan itu kerap saya tuai setelah saya mengintip laman Twitter saya (baca: Twitter adalah adalah salah satu laman media sosial yang jadi acuan tempat saya mendapatkan kabar-kabar terkini)—apalagi belakangan ini, saat lonjakan kasus Covid kian meninggi.
Menyoal mengatasi kecemasan, saya tidak bisa dikatakan ulung; masih—terbilang—amatiran. Derita yang paling dekat yang bisa saya rasakan dari kecemasan yang terkadang sekonyong-konyong hadir adalah asam lambung yang naik atau kepala yang mendadak sakit—parahnya terkadang kombinasi keduanya. Kalau sudah begitu, obat maag dan pereda sakit kepala tak akan jauh-jauh dari saya.
Tapi—lagi-lagi—perkara yang tengah dihadapi ini soal lain.
Covid-19 tak sekadar berbicara tentang kecemasan pada sesuatu yang tak bisa saya kuasai dengan baik; dia bukan kecemasan yang biasa-biasa saja: dia meneror siapapun (baca: tak kenal usia dan status sosial) berikut dengan segala kengerian dan kesusahan yang diakibatkan olehnya.
Satu kisahnya tanpa sengaja lewat di laman Twitter saya beberapa hari yang lalu.
Seseorang kehilangan bibi kesayangannya (baca: yang juga menjadi bibi satu-satunya). Sang bibi meninggal setelah anaknya meninggal—dan bibinya tersebut meninggal tanpa pernah tahu anaknya telah meninggal.
Tetapi, bagian yang paling membuat sedih adalah sang paman (baca: suami dari bibinya itu) yang juga tengah dirawat di rumah sakit belum tahu kalau isteri dan anaknya itu telah meninggal—akibat Covid (virus yang sama seperti yang menyerang tubuhnya dan yang membuat tubuhnya tersebut terkapar lagi tak berdaya).
Setelah mengetahui itu saya tak bisa berkata-kata. Membayangkannya saja jelas membuat sesak dada saya. Saya rasa tak ada satupun orang yang siap merasakan kehilangan yang tak cukup "satu" seperti itu.