Saya pernah sesumbar kepengin sekali bersuamikan laki-laki bersuku Jawa, alasannya sangat sederhana.Â
Karena, saya adalah orang Sumatera—dari suku Batak Toba pula, meski saya lahir dan berdomisili di Palembang—wataknya keras, bicara kadang dengan sedikit "ngegas", jadi tipikal yang lembut seperti orang Jawa mungkin bisa mengimbangi ke-Sumatera-an saya yang begitu sangat mencolok tersebut.Â
Orang Jawa, Batak dan Minang (baca: tiga suku yang ketekunan bekerja terwakili; kegigihan bernegosiasi; dan tentu saja kecakapan dalam jual-beli) pernah mendapat tempat istimewa di hati saya; ketiganya pernah jadi mantan orang terdekat saya. Ups.
Ini curhat colongan. Tolong dimaafkan.
Kembali ke orang Jawa, selain karena perilaku orang-orangnya yang cenderung sopan, lembut bertutur, nrima, kalem dan lain sebagainya—yang baik-baiknya saja—hal yang saya suka dari suku Jawa yang lainnya tentu saja budayanya.
Dalam menunaikan tugas sebagai female wedding photographer, saya kerap mendokumentasikan acara pernikahan adat Jawa, satu dari tiga adat yang dominan sekali saya temui di lapangan selain adat Palembang dan Minang.Â
Baca juga: Jadi Female Wedding Photographer Bukan untuk Gaya-gayaan
Beberapa rangkaian prosesi pernikahan adat Jawa seperti upacara panggih¹ (baca: temu manten, yang artinya kedua pengantin bertemu setelah resmi menikah secara legal melalui upacara keagamaan);—atauÂ
ngidak tagan² atau nincak endogi (baca: ritual injak sebutir telur ayam mentah oleh mempelai pria dilaksanakan sebagai harapan bahwa ia akan mendapatkan keturunan karena keduanya telah bersatu. Kemudian, sang istri akan membasuh kaki suaminya sebagai tanda kasih sayangnya)—atauÂ
kacar kucur³ (baca: ritual ini dilakukan oleh pengantin pria yang mengucurkan uang logam beserta kebutuhan pokok seperti beras dan biji-bijian kepada sang istri. Ini dilakukan untuk menyimbolkan bahwa ia akan bertanggung jawab dalam memberikan nafkah kepada keluarga), dan lain sebagainya tentu wajib masuk data file kamera saya pada saat itu.
Semuanya "mempertebal" iman saya bahwasanya saya bangga menjadi orang Indonesia.
Tapi, jelas bukan itu yang ingin saya bahas pada tulisan ini melainkan satu peribahasa Jawa yang lumayan membetot perhatian saya (baca: persis sejak kali pertama saya tahu, saya merasa "ini saya banget nih!"); peribahasa yang boleh jadi juga secara garis besar mencerminkan tindak tanduk seseorang untuk tegas terhadap "sesuatu"—atau bahkan diri sendiri; tidak mencla-mencle.
Peribahasa itu adalah:
Yen wani ojo wedi-wedi.
Yen wedi ojo wani-wani.
Artinya kurang lebih begini:
Kalau berani jangan takut-takut. Kalau takut jangan berani-berani.
Dari peribahasa ini, saya sendiri langsung bisa mengambil 4 (empat) inti—antara lain:
#1 Sila berani atau tidak sama sekali
Dibutuhkan keberanian untuk merasa berani.
Tak ada satupun manusia yang tak dititipkan rasa takut. Adanya rasa takut membuat seseorang lebih mawas. Namun, hanya saja dengan mengalahkan rasa takutlah yang menandakan seseorang itu "pejuang"Â atau bukan.
#2 Memanah fokus
Setelah rasa takut berhasil dikuasai atau dengan kata lain keberanian telah tumbuh, tentu akan lebih mudah seseorang fokus terhadap apa yang ingin diraih.Â
Tiap orang tentu memiliki life goal-nya masing-masing untuk yang dikatakan dengan fokus ini.Â
Baca juga: Self Sabotage: Neil Amstrong dan Cita-cita Tanpa Kemampuan adalah Mimpi di Siang Bolong
#3 Tegas yang utama adalah tidak menjadi ragu
Perasaan ragu-ragu acapkali menjauhkan seseorang dari impian atau pencapaian.
Perasaan ini muncul tentu saja dari rasa tidak percaya diri dari potensi hebat yang sebenarnya ada namun kurang begitu diapresiasi.Â
Melalui peribahasa ini, saya sendiri digembleng untuk tidak cengeng—alih-alih mengerdilkan diri sendiri.
#4 Jiwa ksatria itu selalu ada
Terakhir, menumbuhkan jiwa ksatria dalam diri saya bahwa jika saya telah memutuskan untuk "berjuang" maka saya harus menyelesaikannya sampai akhir—hasilnya bagaimana, biar tangan Tuhan yang menyempurnakan.
Tiap orang pastilah memiliki banyak "mantra" sebagai bekal untuk tangguh menjalani kehidupan dan boleh jadi salah satunya itu bisa diperoleh dari peribahasa budaya yang ada di sekitar kita.Â
Jadi, kalau sudah berani jangan takut-takut.
Kalau masih takut jangan coba berani-berani.
Tabik.
Disclaimer:Â
¹, ², ³ diambil melalui sumber penjelasan dari Blog Bridestory: https://www.bridestory.com/id/blog/panduan-rangkaian-prosesi-pernikahan-adat-jawa-beserta-makna-di-balik-setiap-ritualnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H