Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu sosial-budaya dan gender | Kontak: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Male Gaze dalam Sastra "Mata" Seorang Fotografer Kecantikan

27 Mei 2021   23:30 Diperbarui: 28 Mei 2021   02:42 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto close up seorang puan yang sedang menggigit bagian bawah bibirnya yang dipulas lipstik warna merah darah. (Sumber Pexel/Foto oleh Ali Pazani)

Apa kesamaan antara seorang penulis dan seorang fotografer?

Ya, keduanya seniman; yang satu seniman kata dan yang lainnya seniman mata.

Saya fotografer. Sebagian teman-teman saya fotografer—atau mungkin kau juga seorang fotografer.

Tapi, apa yang membedakan antara sejatinya fotografer dengan orang lain pada umumnya sehingga mereka layak disematkan sebagai seniman "mata"—alih-alih disebut seorang yang ahli dalam seni olah cahaya?

Selain "kepekaan" terhadap momen sebagai jawabannya—entah datang di depan mata atau dengan sengaja menciptakannya dan olah "rasa" yang sedikit tak biasa; poin selanjutnya saya sepertinya harus dipaksa untuk sepakat dengan kata-kata seorang penulis buku terlaris Earth Seen from The Sky (kau boleh cari sendiri siapa dia di internet)—seseorang yang ingin mengambil sebuah foto yang bisa dikatakan berkualitas, juga harus terlebih dahulu lupa bahwa dia sedang berada di belakang lensa ketika mengabadikan sesuatu—tak peduli apapun obyek yang sedang dia foto saat itu.

Setidaknya, poin kedua ini bisa menjadi alasan "pembenaran" untuk saya ketika tanpa sadar melakukan akrobat (baca: terkadang saking sibuknya dengan obyek foto sampai lupa keadaan sekitar dan tak jarang mengundang keanehan atau cekikikan orang-orang) tatkala menunaikan job foto.

Well, tak pernah ada aturan baku dalam seni visual, termasuk dalam dunia fotografi. Semua pelaku seni visual tahu itu: semua tidak sama. Justeru semakin berbeda dalam melakukannya dan menyikapinya maka semakin terasa nyeni-nya; semua berpulang pada selera pandang di mana manusia sebagai pelakunya.

Fotografi itu sendiri tak jauh-jauh dari membahas seputar genre, komposisi, setting kamera, angle—dan lain sebagainya termasuk obyek yang hendak difoto. Namun, semuanya tak lebih dari sekadar unsur "pendukung" dari bagaimana mata dan otak manusia bekerja (baca: untuk tujuan apa foto itu diabadikan).

Dan tentu saja seorang fotografer sangat lekat dengan kegiatan berburu (baca: hunting), terlepas itu dilakukan secara konseptual atau tidak. Karena memang sejatinya, seorang fotografer haruslah sedekat mungkin dengan obyek buruannya untuk memahami esensi dari sebuah "rasa" dan membuat orang lain percaya akan hal itu.

Hanya saja, selama hampir satu dekade berkecimpung di dalamnya, beberapa pandangan saya terhadap dunia ini masih lah belum berubah—ketika saya semakin mendekati jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pribadi saya, semakin jauh pula jawaban itu untuk saya dapati.

Oh, tentu saya sedang berbicara tentang betapa patriarki-nya fotografi dan seluk beluk di dalamnya. What else?

Dan kali ini yang akan saya bahas adalah genre beauty atau fotografi kecantikan (baca: model atau potrait) dari kacamata saya sebagai seorang fotografer beserta male gaze—yang disadari atau tidak—selalu dilakukan para fotografer pelakunya.

Kamera adalah alat namun seni fotografi adalah fotografer itu sendiri. (Sumber: Pexel/Foto oleh Rodolfo Clix)
Kamera adalah alat namun seni fotografi adalah fotografer itu sendiri. (Sumber: Pexel/Foto oleh Rodolfo Clix)

Male Gaze sendiri adalah sebuah konsep Laura Mulvey—dikemukakan pada tahun 1975—yang hingga kini dianggap penting bagi kajian feminisme. Ia membicarakan tentang bagaimana para puan direpresentasikan pada media visual; tentang bahwa benar adanya ketimpangan kuasa dalam cara para puan ditampilkan.

Konsep ini berargumen bahwa cara puan direpresentasikan seringkali secara sensual dan—atau—seksual yang sesungguhnya tak lebih dari sekadar "diberdayakan” dan diobjektifikasi oleh hasrat lawan jenisnya.


Ya, fotografer kecantikan—dominannya (baca: hampir seluruhnya) melakukan ini. 

Sejauh yang saya amati, seorang fotografer kecantikan  (baca: fotografer model atau potrait) dalam menunaikan tugasnya, tampaknya tak sesederhana seorang fotografer landscape—atau cityscape—dalam memahami keindahan alam kemudian mengabadikannya;—atau seperti seorang fotografer stilllife dan food dalam meletakkan sebuah obyek agar terkesan estetik lalu menjadikannya foto.

Fotografer kecantikan lebih dari itu!

Seperti kebanyakan fotografer, seorang fotografer kecantikan juga memandang sebuah foto sebagai bentuk alat "rekam jejak" dari sebuah ide berpikir—dan tatkala menuangkan idenya, dia tak akan membutuhkan usaha yang terlalu keras jika modelnya "paham" tentang apa yang dia inginkan—alih-alih model tersebut memang seseorang model papan atas.

Ya, kau benar, seorang fotografer kecantikan memang cenderung harus memiliki interpersonal skill yang baik—jika tidak ingin saya katakan pandai memanipulasi—terhadap model yang hendak dia foto, yang sayangnya lebih banyak di antara model itu adalah para puan.

Jika bukan karena itu mustahil para puan mau berpose dengan ragam tatapan, gaya, ekspresi, gesture—or whatever you name it—yang cenderung mengarah ke arah sensual di depan kamera bahkan tak jarang dengan busana sedikit terbuka atau hampir setengah telanjang bin nakal—atau parahnya nude!

Bicara sensual pada akhirnya menggiring seseorang pada konsep seksualitas secara "harfiah"; setengah telanjang atau telanjang menggiring pemahaman seseorang tentang ketelanjangan itu sendiri?

Semua itu menuntun saya pada dua pertanyaan: apa yang sebenarnya ingin ditampilkan?—dan untuk siapa pula itu dilakukan?

Di sinilah male gaze menunjukkan kuasanya!

Padahal male gaze sudah ada di mana-mana dan kita sudah tak bisa lepas daripadanya. Di media visual lain (baca: layar film atau tv), di berita-berita baik media cetak atau elektronik, dalam teks buku pelajaran, di ceramah agama—bahkan kalau boleh saya katakan dalam kitab suci sekalipun;—dan lain sebagainya, semuanya diproduksi dalam kerangka cara pandang laki-laki.

Sekali lagi, bicara telanjang, apa makna dari ketelanjangan?

Tentu saja jawaban atas pertanyaan ini semua orang tidak akan pernah benar-benar bulat satu suara karena semua orang tidak dalam satu atap cara berpikir yang "sama".

Jelas sangat berbeda isi kepala seorang laki-laki muda yang tinggal dalam asrama yang semuanya laki-laki saat memandang seorang puan yang mengenakan rok pendek beberapa senti—atau puluh?—di atas lutut dari kejauhan, dengan seorang dokter muda saat memandang organ intim seorang puan dalam jarak seperti antara dua orang yang sedang duduk ngopi;—namun tak akan terlalu sulit bukan menebak apa yang ada dalam pikiran kebanyakan laki-laki saat melihat seni visual seorang puan yang menggigit bibir bagian bawahnya—apalagi jika bibir itu dipulas dengan lipstik warna merah darah?!

Lantas, untuk apa fotografer kecantikan melakukan itu: menonjolkan sisi sensual dan atau mengarah ke konsep seksualitas dalam foto bidikannya?

Sebenarnya di sinilah dengan berat hati ingin saya katakan bahwa kultur patriarki sedang bekerja—memperkuat apa yang sudah ada dan dianggap "benar" dalam masyarakat yakni: 

bahwa puan adalah obyek keindahan mata yang sayang untuk dilewatkan.

Dan terjadi lagi...begitu seterusnya. Puan takluk (baca: dimanipulasi) dan dieksploitasi bahkan dari sejak nalar berpikir orang yang melakukan itu padanya—seolah itu belum cukup, kemudian dia akan dipertontonkan ulang lagi oleh yang menciptakannya tadi pada semua orang yang melihat fotonya tersebut.

Fotografer pelakunya berhasil menciptakan kepuasan, yang jelas tidak untuk dinikmati sendiri—dan yang tersisa bagi sang puan sendiri mungkin hanyalah kebanggaan semu berupa pujian yang boleh jadi cuma rekaan (baca: olah digital).

Jadi, bagaimana menyikapinya? Saya tidak tahu—dan tidak mau tahu. 

Saya hanya penonton yang berada dari luar lapangan yang mengamati dengan serius sebuah pertandingan—yang sesekali berteriak sangat kencang tak sekali-dua kali untuk mengundang perhatian lebih banyak orang jika ada seorang pemain yang melakukan kekerasan terhadap pemain lain; saya bukan pelaku juga bukan obyek sasarnya. 

Namun, jangan lupa, boleh jadi seorang penonton bisa memprovokasi seorang wasit agar menjatuhkan hukuman. Ups.

Sepertinya, urat lehermu terlalu tegang ya? Duh, santailah sedikit.

Simpulan dari tulisan ini akan berpulang pada fotografer pelakunya: 

akan kah bisa jujur untuk apa foto itu dibuat?

Hanya saja, saya tak segan memberitahu pada seluruh dunia—termasuk kamu—bahwa saya adalah bagian dari para feminis yang direpresentasikan sebagai tokoh-tokoh yang "cerewet" dalam kacamata sistem patriarki yang kelewat barbar ini—mungkin termasuk untuk mereka juga, para fotografer kecantikan tadi.

Itu saja.

Salam jepret.

Tabik.

Disclaimer:

Tulisan ini tidak sepenuhnya dimaksudkan untuk mengundang perhatian para fotografer kecantikan (baik yang genre fotografinya dengan pendekatan model atau potrait). 

Ini adalah bentuk kegelisahan saya tentang subyektifitas seorang puan yang "dikangkangi" dan diobyektifikasi hanya karena alasan label sebuah "karya"—namun jika mau jujur mengakui dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah saya tuliskan dalam tulisan ini, itu akan sangat saya hargai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun