Dan kali ini yang akan saya bahas adalah genre beauty atau fotografi kecantikan (baca: model atau potrait) dari kacamata saya sebagai seorang fotografer beserta male gaze—yang disadari atau tidak—selalu dilakukan para fotografer pelakunya.
Male Gaze sendiri adalah sebuah konsep Laura Mulvey—dikemukakan pada tahun 1975—yang hingga kini dianggap penting bagi kajian feminisme. Ia membicarakan tentang bagaimana para puan direpresentasikan pada media visual; tentang bahwa benar adanya ketimpangan kuasa dalam cara para puan ditampilkan.
Konsep ini berargumen bahwa cara puan direpresentasikan seringkali secara sensual dan—atau—seksual yang sesungguhnya tak lebih dari sekadar "diberdayakan” dan diobjektifikasi oleh hasrat lawan jenisnya.
Ya, fotografer kecantikan—dominannya (baca: hampir seluruhnya) melakukan ini.
Sejauh yang saya amati, seorang fotografer kecantikan (baca: fotografer model atau potrait) dalam menunaikan tugasnya, tampaknya tak sesederhana seorang fotografer landscape—atau cityscape—dalam memahami keindahan alam kemudian mengabadikannya;—atau seperti seorang fotografer stilllife dan food dalam meletakkan sebuah obyek agar terkesan estetik lalu menjadikannya foto.
Fotografer kecantikan lebih dari itu!
Seperti kebanyakan fotografer, seorang fotografer kecantikan juga memandang sebuah foto sebagai bentuk alat "rekam jejak" dari sebuah ide berpikir—dan tatkala menuangkan idenya, dia tak akan membutuhkan usaha yang terlalu keras jika modelnya "paham" tentang apa yang dia inginkan—alih-alih model tersebut memang seseorang model papan atas.
Ya, kau benar, seorang fotografer kecantikan memang cenderung harus memiliki interpersonal skill yang baik—jika tidak ingin saya katakan pandai memanipulasi—terhadap model yang hendak dia foto, yang sayangnya lebih banyak di antara model itu adalah para puan.
Jika bukan karena itu mustahil para puan mau berpose dengan ragam tatapan, gaya, ekspresi, gesture—or whatever you name it—yang cenderung mengarah ke arah sensual di depan kamera bahkan tak jarang dengan busana sedikit terbuka atau hampir setengah telanjang bin nakal—atau parahnya nude!
Bicara sensual pada akhirnya menggiring seseorang pada konsep seksualitas secara "harfiah"; setengah telanjang atau telanjang menggiring pemahaman seseorang tentang ketelanjangan itu sendiri?
Semua itu menuntun saya pada dua pertanyaan: apa yang sebenarnya ingin ditampilkan?—dan untuk siapa pula itu dilakukan?
Di sinilah male gaze menunjukkan kuasanya!