Padahal male gaze sudah ada di mana-mana dan kita sudah tak bisa lepas daripadanya. Di media visual lain (baca: layar film atau tv), di berita-berita baik media cetak atau elektronik, dalam teks buku pelajaran, di ceramah agama—bahkan kalau boleh saya katakan dalam kitab suci sekalipun;—dan lain sebagainya, semuanya diproduksi dalam kerangka cara pandang laki-laki.
Sekali lagi, bicara telanjang, apa makna dari ketelanjangan?
Tentu saja jawaban atas pertanyaan ini semua orang tidak akan pernah benar-benar bulat satu suara karena semua orang tidak dalam satu atap cara berpikir yang "sama".
Jelas sangat berbeda isi kepala seorang laki-laki muda yang tinggal dalam asrama yang semuanya laki-laki saat memandang seorang puan yang mengenakan rok pendek beberapa senti—atau puluh?—di atas lutut dari kejauhan, dengan seorang dokter muda saat memandang organ intim seorang puan dalam jarak seperti antara dua orang yang sedang duduk ngopi;—namun tak akan terlalu sulit bukan menebak apa yang ada dalam pikiran kebanyakan laki-laki saat melihat seni visual seorang puan yang menggigit bibir bagian bawahnya—apalagi jika bibir itu dipulas dengan lipstik warna merah darah?!
Lantas, untuk apa fotografer kecantikan melakukan itu: menonjolkan sisi sensual dan atau mengarah ke konsep seksualitas dalam foto bidikannya?
Sebenarnya di sinilah dengan berat hati ingin saya katakan bahwa kultur patriarki sedang bekerja—memperkuat apa yang sudah ada dan dianggap "benar" dalam masyarakat yakni:Â
bahwa puan adalah obyek keindahan mata yang sayang untuk dilewatkan.
Dan terjadi lagi...begitu seterusnya. Puan takluk (baca: dimanipulasi) dan dieksploitasi bahkan dari sejak nalar berpikir orang yang melakukan itu padanya—seolah itu belum cukup, kemudian dia akan dipertontonkan ulang lagi oleh yang menciptakannya tadi pada semua orang yang melihat fotonya tersebut.
Fotografer pelakunya berhasil menciptakan kepuasan, yang jelas tidak untuk dinikmati sendiri—dan yang tersisa bagi sang puan sendiri mungkin hanyalah kebanggaan semu berupa pujian yang boleh jadi cuma rekaan (baca: olah digital).
Jadi, bagaimana menyikapinya? Saya tidak tahu—dan tidak mau tahu.Â
Saya hanya penonton yang berada dari luar lapangan yang mengamati dengan serius sebuah pertandingan—yang sesekali berteriak sangat kencang tak sekali-dua kali untuk mengundang perhatian lebih banyak orang jika ada seorang pemain yang melakukan kekerasan terhadap pemain lain; saya bukan pelaku juga bukan obyek sasarnya.Â
Namun, jangan lupa, boleh jadi seorang penonton bisa memprovokasi seorang wasit agar menjatuhkan hukuman. Ups.