Tugas saya jelas memastikan show yang saya pegang itu berjalan dengan sebaik mungkin sesuai yang diharapkan. Sebagai Produser, saya bertugas mengarahkan para penyiar saya agar mereka menunjukkan penampilan terbaik—meskipun kadang kala suasana hati mereka tidak sedang baik. Terkadang saya pun harus menjadi teman curhat mereka; menjadi pendengar kalau mereka sedang galau dan lain sebagainya.
Sebagai Produser, meminta para penyiar saya agar tampil all out adalah keharusan. Karena begitu open mic, dunia bukan milik kami lagi, melainkan milik siapapun yang mendengar.
Sebagai Produser, saya juga membuat script yang pointer-pointer-nya (diluar rundown acara) saya sendiri yang buat untuk kemudian memastikan para penyiar paham; improvisasi adalah harga mati bagi kami jika tidak ingin para pendengar lari ke frekuensi radio tetangga.
Sedikit informasi, Script Writer belum tentu Produser tetapi Produser sudah pasti Script Writer. Setidaknya itu pengalaman yang saya dapatkan; setidaknya di radio tempat saya bekerja dulu seperti itu.
Secara jabatan (baca: sebagai Produser) saya bertanggung jawab langsung terhadap Program Director yang menjadi atasan saya. Dengan kata lain, melalui wewenangnya, saya bisa dan punya otoritas penuh meminta pada Music Director untuk membuatkan saya list lagu sesuai dengan musical flow dan mood pendengar dijam-jam saat program yang saya pimpin berjalan. Termasuk pula berkolaborasi dengan Sound Designer dalam memproduksi berbagai taping (yang voice over-nya diisi penyiar yang ditunjuk) untuk tiap iklan yang datang.
Hanya saja, saya tidak lama berada di radio yang kedua ini. Tak sampai dua tahun di sana, saya resign karena alasan kesehatan. Selain karena pemulihan pasca operasi usus buntu, saya juga punya riwayat tukak lambung—yang lumayan parah—yang diakibatkan keseringan lewat jam makan dan konsumsi kopi yang kadang melewati batas kewajaran.
Lepas dari dunia broadcasting, saya juga pernah menjadi Admin di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Food and Beverage. Pernah pula menjadi karyawan di sebuah bank untuk jangka waktu beberapa tahun.
Namun, dari profesi macam-macam yang sebutkan tadi, menjadi Penulis lepas lah yang membuat saya betah (yang bahkan sudah saya jalani sejak saya masih SMA); pun menjadi seorang Visual Storyteller lah (baca: Fotografer dan Desainer Grafis)Â saya acapkali merasa "gagah".
Lihat, adakah—sejauh saya curhat melalui tulisan ini—bidang pekerjaan yang linear atau sesuai dengan jurusan yang saya ambil sebelumnya?
Tentu tidak!
Berkaca dari yang pernah saya lewati, saya sadar, idealisme masa muda terkadang bisa tergadai keadaan; dikalahkan rasa ketertarikan. Belum lagi laju usia yang tak bisa dihentikan—yang berkelindan dengan apa yang orang-orang sebut dengan masa depan.
Ya, masa depan yang dibangun setelah kita mampu menyiasati biaya makan, bayar-bayar tagihan dan mengumpulkan duit tabungan!