Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent |

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Salah Jurusan: Bisa Untung, Bisa Buntung

27 Maret 2021   06:15 Diperbarui: 27 Maret 2021   06:40 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak seseorang sedang dilanda stres terhadap sesuatu. (Sumber Hello Sehat)

Adalah suatu keberuntungan jika profesi atau pekerjaan yang dilakoni linear dengan jurusan yang pernah diambil sebelummya. 

Berarti adaptasi yang begitu menyita perhatian itu tak perlu harus dilalui bukan?

Profesi atau pekerjaan dari sesuatu yang sudah akrab kita pelajari dan kita tekuni dalam rentang waktu yang boleh dikatakan tidak sebentar boleh jadi memang sesuai dengan jurusan yang kita ambil—terlepas sebenarnya kita menyukainya atau tidak (baca: karena bosan).

Namun, tidak sedikit pula yang terjadi pada beberapa orang, justeru kebalikannya. Saya contohnya.

Salah jurusan? Tak apa-apa. Tak berdosa juga tah? Mungkin begitu bagi orang-orang yang memang realitis cara berpikirnya.

Tapi, tidak bagi kaum-kaum idealis. Bagi kaum ini, mengkhianati idealisme adalah salah satu bentuk kejahatan—dan percayalah, pun saya pernah menjadi bagian dari mereka. Setidaknya sebelum mata saya terbuka.

Saya yang jebolan Informatika Komputer ini—yang seharusnya akrab dengan pembuatan program dan menjadi seorang Programmer, eh malah justeru sudah mencoba beberapa bidang pekerjaan yang terbilang macam-macam; pun saya yang pernah pula mencatatkan nama saya dengan menjadi bagian dari sekian banyak mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, justeru nyaman main kritik (kadang malah senewen tak jelas) terhadap pemerintah tanpa harus mencemplungkan diri dengan berprofesi yang ada kaitannya dengan politik. 

Tak percaya? Sila tengok Twitter saya @kazenakrista_. Saya kerap "nyampah" di sana; atau sesekali pula melalui 1x24 jam di story Instagram saya. 

Singkat kata, pekerjaan yang mendatangkan duit untuk saya hingga sekarang justeru jauh sekali dari dua jurusan yang pernah saya pilih tersebut.

Karena saya suka menulis, saya pernah menjadi Script Writer di salah satu radio di kota saya. Lumayan berbilang tahun itu saya lakoni sebelum saya pindah ke radio dengan nama yang berbeda. 

Berganti—nama—radio, saya naik "kasta" menjadi Produser. Di sana saya punya program acara sendiri (tak satu melainkan beberapa); program yang saya menjadi Leader-nya. 

Tugas saya jelas memastikan show yang saya pegang itu berjalan dengan sebaik mungkin sesuai yang diharapkan. Sebagai Produser, saya bertugas mengarahkan para penyiar saya agar mereka menunjukkan penampilan terbaik—meskipun kadang kala suasana hati mereka tidak sedang baik. Terkadang saya pun harus menjadi teman curhat mereka; menjadi pendengar kalau mereka sedang galau dan lain sebagainya.

Laptop adalah media utama seorang penulis. (Foto oleh Kazena Krista/Dok. Pribadi)
Laptop adalah media utama seorang penulis. (Foto oleh Kazena Krista/Dok. Pribadi)

Sebagai Produser, meminta para penyiar saya agar tampil all out adalah keharusan. Karena begitu open mic, dunia bukan milik kami lagi, melainkan milik siapapun yang mendengar.

Sebagai Produser, saya juga membuat script yang pointer-pointer-nya (diluar rundown acara) saya sendiri yang buat untuk kemudian memastikan para penyiar paham; improvisasi adalah harga mati bagi kami jika tidak ingin para pendengar lari ke frekuensi radio tetangga.

Sedikit informasi, Script Writer belum tentu Produser tetapi Produser sudah pasti Script Writer. Setidaknya itu pengalaman yang saya dapatkan; setidaknya di radio tempat saya bekerja dulu seperti itu.

Secara jabatan (baca: sebagai Produser) saya bertanggung jawab langsung terhadap Program Director yang menjadi atasan saya. Dengan kata lain, melalui wewenangnya, saya bisa dan punya otoritas penuh meminta pada Music Director untuk membuatkan saya list lagu sesuai dengan musical flow dan mood pendengar dijam-jam saat program yang saya pimpin berjalan. Termasuk pula berkolaborasi dengan Sound Designer dalam memproduksi berbagai taping (yang voice over-nya diisi penyiar yang ditunjuk) untuk tiap iklan yang datang.

Hanya saja, saya tidak lama berada di radio yang kedua ini. Tak sampai dua tahun di sana, saya resign karena alasan kesehatan. Selain karena pemulihan pasca operasi usus buntu, saya juga punya riwayat tukak lambung—yang lumayan parah—yang diakibatkan keseringan lewat jam makan dan konsumsi kopi yang kadang melewati batas kewajaran.

Lepas dari dunia broadcasting, saya juga pernah menjadi Admin di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Food and Beverage. Pernah pula menjadi karyawan di sebuah bank untuk jangka waktu beberapa tahun.

Namun, dari profesi macam-macam yang sebutkan tadi, menjadi Penulis lepas lah yang membuat saya betah (yang bahkan sudah saya jalani sejak saya masih SMA); pun menjadi seorang Visual Storyteller lah (baca: Fotografer dan Desainer Grafis) saya acapkali merasa "gagah".

Lihat, adakah—sejauh saya curhat melalui tulisan ini—bidang pekerjaan yang linear atau sesuai dengan jurusan yang saya ambil sebelumnya?
Tentu tidak!

Hasil foto candid saat jadi Fotografer. (Foto oleh Kazena Krista/Dok. Pribadi)
Hasil foto candid saat jadi Fotografer. (Foto oleh Kazena Krista/Dok. Pribadi)

Berkaca dari yang pernah saya lewati, saya sadar, idealisme masa muda terkadang bisa tergadai keadaan; dikalahkan rasa ketertarikan. Belum lagi laju usia yang tak bisa dihentikan—yang berkelindan dengan apa yang orang-orang sebut dengan masa depan.

Ya, masa depan yang dibangun setelah kita mampu menyiasati biaya makan, bayar-bayar tagihan dan mengumpulkan duit tabungan!

Lho, benar kan?

Dulu, teknologi digital tak se-spektakuler sekarang. Dulu, perputaran arus informasi melalui internet tak secepat sekarang. Dulu, kemudahan untuk dikenal orang dan kemudian menjadi viral tak semudah sekarang. 

Semuanya bergerak pelan-pelan, yang penting menghasilkan uang.

Bandingkan sekarang?

Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Salah jurusan dahulu, tetap bisa jadi "orang" kemudian.

Inilah kebanyakan kita sekarang!

Saat ini, bagi saya, menjadi Penulis lepas (dengan atau tanpa credit title nama pena) atau menjadi Fotografer di kawinan orang—yang sering duitnya juga mengalir dari job desain—buat saya bukan kesalahan.

Saya tak sedang meromantisasi apa yang menjadi kenangan, kawan, alih-alih menyesali keadaan karena dianggap salah memilih jurusan. Tah, sepanjang saya memahami alur (baca: kesempatan dalam hidup), salah jurusan pun bisa saya ajak "baikan" bukan?

Karena sejatinya, bagi saya, perkara salah jurusan bukan masalah untung atau buntung melainkan berbicara bagaimana memanfaatkan kesempatan yang datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun