Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Punya Anak Tak Cukup Perkara Seksual, Mental, dan Finansial

17 Maret 2021   07:30 Diperbarui: 17 Maret 2021   20:34 1381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedangkal pengetahuan yang saya tahu selama ini adalah definisi utuh atau tidaknya—termasuk indikator bahagia atau tidaknya—sebuah pernikahan lebih banyak diukur dengan dikaruniai atau tidaknya sepasang suami-isteri dengan kehadiran seorang anak.

Saya berani berkata demikian karena kultur di masyarakat kita seolah memberi legitimasi akan hal itu dan orang-orang yang kita tuakan (termasuk orang tua kita sendiri di keluarga inti) juga membenarkan anggapan tersebut.

Hal tersebut tidak salah. Tapi, tidak sepenuhnya benar juga. Hanya saja, menurut saya, perasaan untuk ingin mempunyai anak—ataupun tidak ingin memilikinya—adalah sesuatu yang bisa dikatakan valid meski tak rasional untuk disamaratakan terhadap semua orang.

Memilih untuk "berdiri" di antara masyarakat yang menganggap demikian atau memilih hanya berdua saja (dengan kata lain menua bersama) sepanjang sisa usia kita bersama pasangan adalah dua pilihan berbeda yang berdiri sejajar. Semua dikembalikan pada kita dan pasangan.

Pun saya pribadi, bohong sekali jika saya katakan saya tidak ingin memiliki anak yang saya lahirkan dari rahim saya sendiri setelah menikah. 

Kalau boleh jujur, saya berkeinginan memiliki anak laki-laki tidak satu atau dua—melainkan sekaligus empat. Tak apa dalam rentang waktu yang berdekatan, biar lelahnya sekalian. Beberapa teman saya tahu jelas tentang keinginan saya ini.

Hanya saja, ada beberapa faktor eksternal dan internal yang harus lebih dulu saya penuhi—yang sebelumnya saya jadikan sebagai beberapa acuan—sebelum itu berani saya wujudkan bersama pasangan saya nantinya: memiliki dan mengasuh anak bersama. Tentu saja, saya dan pasangan harus lebih banyak berkompromi lagi; lebih banyak bernegosiasi lagi.

Lagi pula, saya mungkin saja berani berkata seperti ini sekarang (baca: memiliki empat anak laki-laki sekaligus) tapi saya tidak tahu lima menit kemudian? Who knows? Pemikiran manusia bisa berubah seperti halnya cuaca.

Yang jelas, bukan saya yang jadi sorotan dalam tulisan ini.

Baiklah, mari kita bicarakan dengan lebih serius.

Dulu sebelum menikah mungkin sebagian dari kita sangat mengidamkan memiliki pasangan dengan sifat penyayang karena mungkin salah satu orang tua kita tidak berlaku sepenuhnya (mampu) menjadi sosok yang demikian terhadap orang tua kita yang lainnya.

Atau, kita menginginkan pasangan yang lembut hatinya karena boleh jadi salah satu orang tua kita adalah sosok yang keras kepala dan tak ingin ditentang kehendaknya. 

Boleh jadi juga sebagian dari kita berkeinginan memiliki pasangan yang tak cuma manut dalam segala hal seperti salah satu orang tua kita terhadap orang tua kita yang lainnya.

Ya, itu sah-sah saja. Apa yang kita idamkan—yang berangkat dari apa yang pernah kita rasakan sebelumnya—adalah valid tanpa perlu diwakilkan oleh orang lain.

Karena kita menyadari penuh menemukan sosok yang tepat (baca: setara dan selevel dengan kita sebagai individu) adalah faktor penting sebelum memutuskan menikah sebab jika "standar" kita ketinggian akan membuat pusing kita sendiri dan jika kerendahan malah bikin repot.

Tapi, berencana atau menjatuhkan pilihan untuk sepakat memiliki anak setelah menikah, itu beda perkara.

Secara teori dan juga praktek sebelum memutuskan memiliki anak setidaknya sepasang suami dan isteri—sudah—harus matang dari tiga hal: seksual, mental dan finansial. Itu sudah jadi rahasia umum. Jika hanya dua saja di antara tiga itu yang terpenuhi, sepasang suami dan isteri boleh jadi agak kesulitan dalam hal pemenuhan kebutuhan si anak, baik secara lahir maupun batin.

Ya, menurut saya pun begitu. Hanya, perlu digarisbawahi, matang yang saya maksud bukan berarti "wah" melainkan "cukup"—namun bukan pula ala kadarnya. 

Saya tidak akan membahas secara detail satu persatu dalam tulisan ini—yang kita tahu bersama adalah menjadi orang tua bukan perkara mudah.

Tapi, ada satu hal yang menarik yang bisa saya—atau kita—jadikan salah satu acuan sebelum memutuskan untuk sepakat memiliki anak—selain faktor seksual, mental dan finansial—yaitu sudahkah kita berdamai dengan masa lalu selama kita masih dalam pengasuhan orang tua?!

Coba tarik ke belakang ke masa silam dan tanyakan secara jujur pada diri sendiri adakah yang belum selesai terhadap apa yang pernah dilakukan orang tua pada kita (selama kita dalam pengasuhan mereka)? 

Adakah luka batin yang masih menganga dan belum sembuh—atau belum bisa kita terima hingga sekarang—yang pada akhirnya membentuk diri kita saat ini? Adakah kita telah memaafkan hal-hal tersebut?

Orang tua yang pilih kasih, orang tua yang sering beda pendapat dari segi pola pengasuhan yang cenderung berakhir dengan cekcok dan perang mulut—atau orang tua yang suka membanding-bandingkan diri kita dengan saudara (bahkan parahnya dengan anak tetangga) adalah sebagian contoh nyata yang sering terjadi. Belum lagi tidak boleh ini tidak boleh itu; dilarang ini dilarang itu—hingga yang mungkin lebih ekstrim: kita dipaksa untuk mengubur apa yang orang-orang sebut dengan keinginan dan cita-cita!

Dan lain sebagainya, silakan sebutkan sendiri yang lainnya.

Karena karakter kita sejatinya adalah cermin nyata dari segala apapun yang pernah kita lihat, kita alami dan kita lewati di masa lalu—dan boleh jadi segala kekhawatiran yang diiringi rasa takut yang tidak ingin kita ulang (terhadap generasi yang kehidupannya dititipkan pada kita dan pasangan kita) adalah pada apa-apa yang menyoal itu; dengan segala pahit dan getirnya.

Itulah sebabnya, berdamai dengan masa lalu saya katakan penting—dan perlu mendapat lebih banyak perhatian bahkan jauh melebihi kesiapan seksual, mental dan finansial tadi—bagi pasangan yang berencana atau sepakat untuk memiliki anak. 

Mengapa begitu? Karena ini adalah "akar"; ini yang jadi fondasi kesiapan yang sebenarnya. Dengan demikian segala hal yang tidak baik cukup berhenti di diri kita tanpa perlu di-"wariskan" lagi.

Jadi, mari menarik jauh ke dalam diri sendiri dan tanyakan apa kita sudah berdamai dengan masa lalu yang pernah kita alami itu? Setelahnya, sila saling berbagilah dengan pasangan; sila ceritakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun