Dulu sebelum menikah mungkin sebagian dari kita sangat mengidamkan memiliki pasangan dengan sifat penyayang karena mungkin salah satu orang tua kita tidak berlaku sepenuhnya (mampu) menjadi sosok yang demikian terhadap orang tua kita yang lainnya.
Atau, kita menginginkan pasangan yang lembut hatinya karena boleh jadi salah satu orang tua kita adalah sosok yang keras kepala dan tak ingin ditentang kehendaknya.Â
Boleh jadi juga sebagian dari kita berkeinginan memiliki pasangan yang tak cuma manut dalam segala hal seperti salah satu orang tua kita terhadap orang tua kita yang lainnya.
Ya, itu sah-sah saja. Apa yang kita idamkan—yang berangkat dari apa yang pernah kita rasakan sebelumnya—adalah valid tanpa perlu diwakilkan oleh orang lain.
Karena kita menyadari penuh menemukan sosok yang tepat (baca: setara dan selevel dengan kita sebagai individu) adalah faktor penting sebelum memutuskan menikah sebab jika "standar" kita ketinggian akan membuat pusing kita sendiri dan jika kerendahan malah bikin repot.
Tapi, berencana atau menjatuhkan pilihan untuk sepakat memiliki anak setelah menikah, itu beda perkara.
Secara teori dan juga praktek sebelum memutuskan memiliki anak setidaknya sepasang suami dan isteri—sudah—harus matang dari tiga hal: seksual, mental dan finansial. Itu sudah jadi rahasia umum. Jika hanya dua saja di antara tiga itu yang terpenuhi, sepasang suami dan isteri boleh jadi agak kesulitan dalam hal pemenuhan kebutuhan si anak, baik secara lahir maupun batin.
Ya, menurut saya pun begitu. Hanya, perlu digarisbawahi, matang yang saya maksud bukan berarti "wah" melainkan "cukup"—namun bukan pula ala kadarnya.Â
Saya tidak akan membahas secara detail satu persatu dalam tulisan ini—yang kita tahu bersama adalah menjadi orang tua bukan perkara mudah.
Tapi, ada satu hal yang menarik yang bisa saya—atau kita—jadikan salah satu acuan sebelum memutuskan untuk sepakat memiliki anak—selain faktor seksual, mental dan finansial—yaitu sudahkah kita berdamai dengan masa lalu selama kita masih dalam pengasuhan orang tua?!
Coba tarik ke belakang ke masa silam dan tanyakan secara jujur pada diri sendiri adakah yang belum selesai terhadap apa yang pernah dilakukan orang tua pada kita (selama kita dalam pengasuhan mereka)?Â
Adakah luka batin yang masih menganga dan belum sembuh—atau belum bisa kita terima hingga sekarang—yang pada akhirnya membentuk diri kita saat ini? Adakah kita telah memaafkan hal-hal tersebut?