Seperti halnya saya. Sebagian orang mengenal saya sebagai tukang tulis, tukang foto, atau tukang desain.
Di lain kisah orang mengenal saya sebagai orang yang suka narsis jepret muka sendiri dan menampilkannya di laman media sosial saya, atau seorang perempuan yang mengaku dengan jelas bahwasanya dia feminis yang dengan keadaan sadar ingin semua gender di muka bumi dipandang setara sesuai hak-haknya sebagai manusia tanpa terikat budaya—yang menjadikannya timpang dan berat sebelah—atau bahkan sekat agama (karena saya berpendapat, biarlah Tuhan yang menjadi hakim yang senyata-nyatanya bagi manusia); atau sebagai rakyat yang doyan nyinyir atas kebijakan pemerintahan yang kadang tebang pilih dan tidak sesuai hukum serta konstitusi.
Identitas memang menjadi penting. Tapi, tidak melulu penting jika dibenturkan pada apa yang kita sukai alih-alih apa yang menjadi tuntutan untuk kita kerjakan atau kita lakoni—atau malah pada sesuatu yang sebenarnya ingin sekali kita ubah.
Karena kalau sudah demikian, identitas akan bias dan memiliki standar yang lebih dari sekadar kata "ganda"—apalagi jika identitas pada akhirnya membuat kita membentengi diri sendiri untuk tidak mencoba hal-hal baru demi sebuah ke-aku-an.
Saya ogah cuma dikenal sebagai tukang tulis saja, atau tukang foto saja—atau sebagai apapun yang orang tahu tentang saya—selama saya bisa melakukan semuanya dan bertanggung jawab pada saat saya menjalankannya.
Identitas memang menjadi penting. Tapi, bukan satu-satunya cara untuk dianggap jadi orang "penting". Kalau saya pribadi, biarlah identitas saya terbentuk dengan natural dalam kepala orang-orang asal saya tidak berniat untuk pencitraan.
Duh, jangan sampe deh.
Identitas memang akan menjadi penting selama memang kita tahu kapan waktunya digunakan dan sepenting apa kita gunakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H