Beberapa hari yang lalu saya mengunjungi kantor pajak yang ada di kota saya untuk mengurus keperluan menyoal pajak, setelah beberapa hari sebelumnya telah mendaftarkan diri melalui website untuk mendapatkan nomor antrean—mungkin langkah ini diambil untuk mengurangi aktifitas kerumunan di kantor pelayanan publik mengingat pandemi Covid-19 belum berakhir. Ketika saya tiba di sana—tentunya setelah bertanya pada staf petugas bagian luar kantor pajak—saya langsung diarahkan ke bagian dalam ke sebuah konter desk untuk berurusan dengan staf pelayan pajak sesuai keperluan yang saya maksudkan.
Setelah duduk beberapa saat menunggu antrean, akhirnya giliran saya tiba. Saya pun mengutarakan apa yang jadi keperluan saya pada staf tersebut. Sang staf seorang perempuan. Si Mbak staf pun merespon meski saat ia menjelaskan, mimik mukanya—yang sayangnya bisa saya sebut—datar-datar saja. Nyaris tanpa gurat senyum—sekalipun seadainya bisa saya identifikasi dari tarikan garis di kedua ujung sepasang matanya—meski dari balik masker putih yang ia pakai. Intinya, percakapan antara kami cuma sebatas, saya bertanya si Mbak-nya menjawab. Pun sebaliknya.
Sepulang dari kantor pajak, ada yang menggelitik dalam pikiran saya. Apa si Mbaknya ini memang aslinya begitu atau saya saja yang ketiban sial pada hari itu? Bukankah seharusnya pelayan publik dituntut ramah dalam melayani apa yang jadi tugasnya?
Bukan—bukan pertanyaan itu yang seharusnya muncul. Tapi, pertanyaannya adalah: apakah jadi keharusan mutlak pelayan publik untuk bersikap ramah pada masyarakat yang ia layani—karena mengingat orientasi pekerjaannya adalah melayani dan identitasnya saat bekerja tersebut adalah pelayan publik?
Jika memang harus, kenapa si Mbak staf kelihatan jutek bebek seperti itu terhadap saya? Jika tidak, berarti si Mbak staf memilih menolak arus dong.
Kalau boleh jujur, saya juga tidak mau sih dilayani hanya sebatas pencitraan—hanya karena tuntutan. Saya rasa bukan cuma saya saja yang akan berpendapat begitu. Tapi, kalian juga pasti sependapat dengan saya meski pada akhirnya memilih untuk tak ambil pusing. Biar cepet aja gitu. Ya kan?
Balik lagi ke si Mbak yang mukanya datar itu. Duh saya lupa untuk mencari tahu namanya—atau memang saya saja yang tidak mengingatnya dengan baik ketika dia menyebutkan namanya saking kebelet-nya saya dengan urusan yang jadi tujuan awal saya ke sana. Saya juga lupa mengisi kotak puas/tidak puas atas layanan publik yang ada di atas meja kerjanya. Saya bisa pastikan saya tak akan mengisi puas/tidak puas tok. Saya akan sertakan alasan kenapa-kenapa-nya. Toh, itu kan fungsinya?
Mulailah terjangan pertanyaan memenuhi kepala saya. Ada apa sih dengan si Mbak itu? Kalau si Mbak itu sudah menikah, apakah si Mbak lagi marahan dengan suaminya? Atau mungkinkah beberapa jam sebelumnya ia ditegur langsung oleh atasan di tempatnya mengabdi?; —atau apakah tadi pagi ketika ia hendak pamit kerja anaknya ngambek karena tidak ingin ditinggal pergi?;—atau ia lupa memberikan uang gaji asisten rumah tangganya pada hari itu karena lupa menaruh di mana amplop putih yang berisi uang si asisten rumah tangganya itu? Duh saya kepo jadinya. Tabiat yang suka menebak-nebak saya ini terkadang keterlaluan. Ups.
Tapi, tunggu sebentar. Coba lihat, si Mbak ini sudah saya lekatkan beberapa identitas untuknya. Sebagai isteri, pegawai, ibu dan nyonya besar. Identitas yang berulang dan selalu berganti-ganti, tergantung di mana ia memerlukannya. Ia tak melulu baku pada satu bukan?
Pun kita demikian.
Identitas menjadi penting. Syarat mutlak untuk menjadi penanda siapa diri kita di tengah-tengah lingkungan—maupun dunia.
Seperti halnya saya. Sebagian orang mengenal saya sebagai tukang tulis, tukang foto, atau tukang desain.
Di lain kisah orang mengenal saya sebagai orang yang suka narsis jepret muka sendiri dan menampilkannya di laman media sosial saya, atau seorang perempuan yang mengaku dengan jelas bahwasanya dia feminis yang dengan keadaan sadar ingin semua gender di muka bumi dipandang setara sesuai hak-haknya sebagai manusia tanpa terikat budaya—yang menjadikannya timpang dan berat sebelah—atau bahkan sekat agama (karena saya berpendapat, biarlah Tuhan yang menjadi hakim yang senyata-nyatanya bagi manusia); atau sebagai rakyat yang doyan nyinyir atas kebijakan pemerintahan yang kadang tebang pilih dan tidak sesuai hukum serta konstitusi.
Identitas memang menjadi penting. Tapi, tidak melulu penting jika dibenturkan pada apa yang kita sukai alih-alih apa yang menjadi tuntutan untuk kita kerjakan atau kita lakoni—atau malah pada sesuatu yang sebenarnya ingin sekali kita ubah.
Karena kalau sudah demikian, identitas akan bias dan memiliki standar yang lebih dari sekadar kata "ganda"—apalagi jika identitas pada akhirnya membuat kita membentengi diri sendiri untuk tidak mencoba hal-hal baru demi sebuah ke-aku-an.
Saya ogah cuma dikenal sebagai tukang tulis saja, atau tukang foto saja—atau sebagai apapun yang orang tahu tentang saya—selama saya bisa melakukan semuanya dan bertanggung jawab pada saat saya menjalankannya.
Identitas memang menjadi penting. Tapi, bukan satu-satunya cara untuk dianggap jadi orang "penting". Kalau saya pribadi, biarlah identitas saya terbentuk dengan natural dalam kepala orang-orang asal saya tidak berniat untuk pencitraan.
Duh, jangan sampe deh.
Identitas memang akan menjadi penting selama memang kita tahu kapan waktunya digunakan dan sepenting apa kita gunakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H