Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Identitas

4 Maret 2021   08:14 Diperbarui: 4 Maret 2021   08:19 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu saya mengunjungi kantor pajak yang ada di kota saya untuk mengurus keperluan menyoal pajak, setelah beberapa hari sebelumnya telah mendaftarkan diri melalui website untuk mendapatkan nomor antrean—mungkin langkah ini diambil untuk mengurangi aktifitas kerumunan di kantor pelayanan publik mengingat pandemi Covid-19 belum berakhir. Ketika saya tiba di sana—tentunya setelah bertanya pada staf petugas bagian luar kantor pajak—saya langsung diarahkan ke bagian dalam ke sebuah konter desk untuk berurusan dengan staf pelayan pajak sesuai keperluan yang saya maksudkan.

Setelah duduk beberapa saat menunggu antrean, akhirnya giliran saya tiba. Saya pun mengutarakan apa yang jadi keperluan saya pada staf tersebut. Sang staf seorang perempuan. Si Mbak staf pun merespon meski saat ia menjelaskan, mimik mukanya—yang sayangnya bisa saya sebut—datar-datar saja. Nyaris tanpa gurat senyum—sekalipun seadainya bisa saya identifikasi dari tarikan garis di kedua ujung sepasang matanya—meski dari balik masker putih yang ia pakai. Intinya, percakapan antara kami cuma sebatas, saya bertanya si Mbak-nya menjawab. Pun sebaliknya.

Sepulang dari kantor pajak, ada yang menggelitik dalam pikiran saya. Apa si Mbaknya ini memang aslinya begitu atau saya saja yang ketiban sial pada hari itu? Bukankah seharusnya pelayan publik dituntut ramah dalam melayani apa yang jadi tugasnya?

Bukan—bukan pertanyaan itu yang seharusnya muncul. Tapi, pertanyaannya adalah: apakah jadi keharusan mutlak pelayan publik untuk bersikap ramah pada masyarakat yang ia layani—karena mengingat orientasi pekerjaannya adalah melayani dan identitasnya saat bekerja tersebut adalah pelayan publik?

Jika memang harus, kenapa si Mbak staf kelihatan jutek bebek seperti itu terhadap saya? Jika tidak, berarti si Mbak staf memilih menolak arus dong.

Kalau boleh jujur, saya juga tidak mau sih dilayani hanya sebatas pencitraan—hanya karena tuntutan. Saya rasa bukan cuma saya saja yang akan berpendapat begitu. Tapi, kalian juga pasti sependapat dengan saya meski pada akhirnya memilih untuk tak ambil pusing. Biar cepet aja gitu. Ya kan?

Balik lagi ke si Mbak yang mukanya datar itu. Duh saya lupa untuk mencari tahu namanya—atau memang saya saja yang tidak mengingatnya dengan baik ketika dia menyebutkan namanya saking kebelet-nya saya dengan urusan yang jadi tujuan awal saya ke sana. Saya juga lupa mengisi kotak puas/tidak puas atas layanan publik yang ada di atas meja kerjanya. Saya bisa pastikan saya tak akan mengisi puas/tidak puas tok. Saya akan sertakan alasan kenapa-kenapa-nya. Toh, itu kan fungsinya?

Mulailah terjangan pertanyaan memenuhi kepala saya. Ada apa sih dengan si Mbak itu? Kalau si Mbak itu sudah menikah, apakah si Mbak lagi marahan dengan suaminya? Atau mungkinkah beberapa jam sebelumnya ia ditegur langsung oleh atasan di tempatnya mengabdi?; —atau apakah tadi pagi ketika ia hendak pamit kerja anaknya ngambek karena tidak ingin ditinggal pergi?;—atau ia lupa memberikan uang gaji asisten rumah tangganya pada hari itu karena lupa menaruh di mana amplop putih yang berisi uang si asisten rumah tangganya itu? Duh saya kepo jadinya. Tabiat yang suka menebak-nebak saya ini terkadang keterlaluan. Ups.

Tapi, tunggu sebentar. Coba lihat, si Mbak ini sudah saya lekatkan beberapa identitas untuknya. Sebagai isteri, pegawai, ibu dan nyonya besar. Identitas yang berulang dan selalu berganti-ganti, tergantung di mana ia memerlukannya. Ia tak melulu baku pada satu bukan?

Pun kita demikian.

Identitas menjadi penting. Syarat mutlak untuk menjadi penanda siapa diri kita di tengah-tengah lingkungan—maupun dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun