Belum lagi, meng-handle klien beserta segenap keluarganya termasuk tamu yang akan hadir dalam acara, itu juga jadi acuan. Dalam tahap ini sebenarnya kau sedang belajar bagaimana menangani psikologis orang-orang.
2. Dilarang malu
Jika kau memutuskan untuk terjun sebagai fotografer pernikahan maka tentu saja malu adalah haram hukumnya. Mengapa begitu?
Berkaca dari pengalaman saya, jujur, saya kadang tak sadar kalau saya sudah melakukan aksi "akrobatik" yang mengundang gelak tawa atau decak aneh orang-orang demi mendapatkan foto dari berbagai angle yang saya kira cocok untuk saya abadikan dalam frame kamera saya.Â
Seperti contoh, saya sering naik salah satu kursi—yang tak jauh dari tempat saya berada—saat pengantin diarak sebelum mereka duduk di singgasana "raja dan ratu sehari" mereka—atau; berlutut yang terlalu bawah dengan sudut foto low angle dan hal-hal "gila" lainnya yang buat sebagian orang memalukan, apalagi jika itu dilakukan di antara kerumunan orang.
Intinya, budayakan jangan malu selama memang kau tidak dengan sengaja melakukannya: mempermalukan diri sendiri. Totalitas tanpa batas? Oke sih kalau mau disebut begitu.
3. Mengeluh
Mengeluh? Tunggu dulu?! Karena kau harus tahan banting jadi fotografer di kawinan orang. Kesampingkan sekalipun kau seorang perempuan.Â
Capek? Manusiawi. Tapi, show must go on, setidaknya hingga acara benar-benar selesai—dengan kata lain, hingga foto couple session purna dilaksanakan. Karena kau dibayar untuk itu!
Kalau di-list satu-per satu lumayan banyak juga sih hal-hal yang sudah saya lewati sebagai fotografer perempuan di banyak pernikahan klien yang saya tangani.