Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Jadi Female Wedding Photographer Bukan untuk Gaya-gayaan

28 Februari 2021   22:30 Diperbarui: 1 Maret 2021   07:46 2110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto couple session di sebuah acara pernikahan. (Foto oleh Kazena Krista)

"Lakukan apa yang kau cintai" adalah kalimat bijak usang yang masih banyak diaminkan orang. Ada pula yang berkata begini "lakukan apa yang membuatmu takut agar kau berkembang"—yang ini jelas tak sepenuhnya salah juga. Malah bisa dianggap pembenaran agar seseorang maju.

Tapi, coba kombinasikan jadi begini, "lakukan apa yang kau cintai dan taklukkan apa yang membuatmu takut!"

Contoh sederhana ketika saya memutuskan untuk menjadi fotografer komersil. Saya memilih wedding sebagai genre fotografi yang saya tekuni (meski bukan satu-satunya genre yang saya suka). 

Bicara—mendokumentasikan—fotografi acara pernikahan, kalau boleh jujur tiap "show" yang saya lakoni saya masih selalu belajar mengendalikan rasa takut saya.

Sebagai fotografer yang terjun secara profesional sejak 2015, entah sudah berapa puluh pasang (atau ratusan?) pengantin yang saya foto. Saya tak ingat pasti berapa bilangannya. 

Pun, saya juga tak pernah menghitung sudah berapa banyak suka dan duka yang tercampur layaknya gado-gado yang saya dapatkan selama saya di lapangan. Anehnya, saya—masih—menikmatinya.

Saya akui menjadi fotografer yang mengabadikan momen awal baru dari sepasang manusia mempunyai kebanggaan tersendiri meskipun saya meyakini wajah saya tak akan pernah masuk dalam kepala mereka—alih-alih mereka mengingat nama saya. Fyi, job pernikahan yang kadang saya jalani lebih banyak didapat dari calling-an teman sesama fotografer yang saya kenal.

It means words by mouth about your skill it’s a thing—it’s important. 

Ya, meskipun portofolio saya nggak rapi-rapi amat karena saya juga punya pekerjaan lain di luar menjadi fotografer.

Tapi, tolong dicatat—kalau perlu di-bold dan di-underlinebahwa menjadi fotografer pernikahan apalagi jika kau perempuan bukan perkara mudah dan tentu saja bukan untuk gaya-gayaan.

Kau tahu, meskipun terselip rasa bangga ketika saya menenteng kamera saat saya menunaikan tugas saya di lapangan sebagai fotografer, terkadang saya masih saja dibekap rasa khawatir—alih-alih tidak ingin disebut rasa takut yang berlebihan sih—dari tiap tatapan mata para tamu yang bertubruk pandang dengan mata saya.

Saya bisa langsung diserang rasa frustrasi yang tiba-tiba dan membabi buta.

Hanya, itu tidak ada apa-apanya selama tidak ada kalimat-kalimat yang terasa bagai nyinyiran yang mampir di telinga saya. Mau tahu, salah satunya itu apa? 

Salah satu contohnya: "Ssst...Fotografernya cewek!"—apalagi itu diucapkan dengan nada pelan nyaris bisik-bisik di antara dua atau sekelompok orang yang sedang mengobrol.

Beberapa seserahan pihak calon pengantin laki-laki sebelum proses ijab-qobul. (Foto oleh Kazena Krista)
Beberapa seserahan pihak calon pengantin laki-laki sebelum proses ijab-qobul. (Foto oleh Kazena Krista)

Sedikit banget sih, cuma tiga kata. Tapi, yakinlah itu cukup membuat pikiran saya menebak-nebak apa maksudnya.

Pilihannya cuma dua kan: mereka seolah ingin menunjukkan kekaguman terhadap pekerjaan yang saya jalani—karena memang masih terbilang jarang fotografer pernikahan dilakukan oleh seorang perempuan—atau; mereka menyepelekan saya sebagai fotografer karena saya seorang perempuan!

Tetapi, ketika perasaan-perasaan sumbang itu tiba-tiba muncul, saya akan lekas menamengi diri saya dengan langsung memberi sugesti pada diri sendiri bahwa tak ada yang salah saat saya menjatuhkan pilihan menjadi seorang fotografer yang melibatkan banyak orang saat dilakukan (baca: fotografer pernikahan)—dan tentu saja, saya pun tidak salah hanya karena saya sebagai perempuan dalam melakoninya. 

Bagi saya, menolak baper adalah jalan ninja. Jangan kasih celah, sekalipun itu sedikit.

Sebagai perempuan dan memiliki hobi fotografi mungkin menjadi fotografer pernikahan boleh kau jadikan pilihan. Tapi—tentu ada tapinya dan ini penting untuk saya katakan—asal bukan untuk gaya-gayaan. Mengapa demikian?

Ini buktinya:

1. Sabar

Jadi fotografer pernikahan itu harus sabar. Karena ini adalah kunci utama. Banyak hal-hal teknis dan non teknis yang mungkin akan kau temui di lapangan semisal human error yang ada kaitannya dengan tools yang akan digunakan meskipun jauh-jauh hari (atau bahkan beberapa jam sebelum acara dimulai) kau sudah dengan percaya diri memberi garansi "well prepared" untuk semua itu.

Belum lagi, meng-handle klien beserta segenap keluarganya termasuk tamu yang akan hadir dalam acara, itu juga jadi acuan. Dalam tahap ini sebenarnya kau sedang belajar bagaimana menangani psikologis orang-orang.

2. Dilarang malu

Jika kau memutuskan untuk terjun sebagai fotografer pernikahan maka tentu saja malu adalah haram hukumnya. Mengapa begitu?

Berkaca dari pengalaman saya, jujur, saya kadang tak sadar kalau saya sudah melakukan aksi "akrobatik" yang mengundang gelak tawa atau decak aneh orang-orang demi mendapatkan foto dari berbagai angle yang saya kira cocok untuk saya abadikan dalam frame kamera saya. 

Seperti contoh, saya sering naik salah satu kursi—yang tak jauh dari tempat saya berada—saat pengantin diarak sebelum mereka duduk di singgasana "raja dan ratu sehari" mereka—atau; berlutut yang terlalu bawah dengan sudut foto low angle dan hal-hal "gila" lainnya yang buat sebagian orang memalukan, apalagi jika itu dilakukan di antara kerumunan orang.

Intinya, budayakan jangan malu selama memang kau tidak dengan sengaja melakukannya: mempermalukan diri sendiri. Totalitas tanpa batas? Oke sih kalau mau disebut begitu.

3. Mengeluh

Mengeluh? Tunggu dulu?! Karena kau harus tahan banting jadi fotografer di kawinan orang. Kesampingkan sekalipun kau seorang perempuan. 

Capek? Manusiawi. Tapi, show must go on, setidaknya hingga acara benar-benar selesai—dengan kata lain, hingga foto couple session purna dilaksanakan. Karena kau dibayar untuk itu!

Dokumentasi pribadi. (Foto oleh Kazena Krista)
Dokumentasi pribadi. (Foto oleh Kazena Krista)

Kalau di-list satu-per satu lumayan banyak juga sih hal-hal yang sudah saya lewati sebagai fotografer perempuan di banyak pernikahan klien yang saya tangani.

Mulai dari sisi feminin saya yang dipertanyakan—karena hanya saya satu-satunya perempuan dalam tim saat menunaikan tugas di lapangan; atau kadang tak sempat makan karena "keduluan" (habis karena terlalu banyak tamu yang datang atau sudah dibungkus oleh pihak keluarga yang punya hajatan), atau memaklumi kalimat “datang cepat tapi pulang paling belakangan”. 

Belum lagi, menahan rasa jengkel dengan para fotografer "dadakan" yang sudah tak berbilang—hingga senyum-senyum geli (saking sudah terlalu sering) disebut tukang foto oleh sebagian besar orang.

Meskipun demikian, saya menikmatinya. At least, saya bangga terhadap diri sendiri, terhadap apa yang—sudah—saya lakoni.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun