Mohon tunggu...
Kayetanus Kolo
Kayetanus Kolo Mohon Tunggu... Guru - Guru-Penulis

Sebagai seorang guru dan penulis, saya juga hoby menanam dan memelihara hewan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tahun 1999 "Detik-Detik yang Mencekam"

8 Januari 2024   19:06 Diperbarui: 9 Januari 2024   18:10 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : Tanus Korbaffo (Kliping)

Tahun 1999 : "Detik-Detik Yang Mencekam"

Semua Di Tinggalkan Dan Menjadi Pengungsi Di Tanah Leluhurnya Sendiri 

(Kisah Nyata)

Oleh : Kayetanus Kolo

Saya baru selesai kuliah Diploma Tiga(D3). Mungkin karena saya sedikit punya kemampuan lebih maka saya diminta oleh kepala SMPK Aurora Kefamenanu untuk membantu mereka di sekolah itu.

Sekolah itu memiliki jumlah siswa yang tidak terlalu banyak. Tiap tingkatan kelas hanya satu rombel. Sebagai guru honorer di sekolah itu, oleh kepala sekolah saya diberikan satu ruang kecil di ujung kelas, bekas kantor sekolah.

Ruangan itu hanya memiliki satu pintu yakni pintu depan. Saya sangat bahagia karena dari semua mahasiswa hanya saya boleh dibilang beruntung karena yang pertama memilki pekerjaan. Perlengkapan dapur yang saya gunakan selama kuliah dan barang-barang lain kini berpindah tempat dari asrama ke ruang kecil itu.

Di halaman sekolah ada sebuah sumur yang air selalu ada. Ada satu pohon mangga di sudut ruang yang saya tempati sehingga di kala siang pohon itu dijadikan tempat bernaung. Status saya sebagai mahasiswa meski belum dikukuhkan saat itu berubah menjadi pak guru.

SMP Katolik Aurora Kefamenanu berhadapan dengan KODIM 1618 Timor Tengah Utara (TTU), tepatnya di Jalan Jenderal Ahmad Yani KM 2-Kefamenanu Selatan.

Upah yang saya terima setiap bulannya sebagai guru honorer di sekolah itu Rp.50.000. Maklum sekolah kecil dengan siswa tidak seberapa. Namun sebagai guru muda saya senang saja. Bulan Juni akhir di tahun 1999 saya dipanggil oleh kepala sekolah Pak Yosep Lelan namanya dan diminta kesediaan saya memperkuat barisan para guru di sekolah itu saya bersedia meski mata pelajaran yang ditawarkan tidak sesuai dengan yang saya tekuni selama dibangku kuliah.

Bulan Juli 1999 awal saya mulai menjalani tugas baru saya sebagai guru honor di sekolah itu. Situasi saat itu memang biasa biasa saja walau terkadang terjadi insiden maklum Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) berbatasan lansung dengan Oekusi.

Saya ingat benar karena tiap hari semenjak menempati ruangan kecil diujung ruang - ruang kelas itu pasti bersosialisasi dengan para tentara terutama tentara-tentara muda. Para tentara memang siaga benar saat itu karena banyak orang yang mulai meninggalkan Timor- Timur ke Timor Barat dan sekitarnya.

Senin 30 Agustus 1999 Yang Mengubah Segalanya

sumber gambar : Tanus Korbaffo (Kliping)
sumber gambar : Tanus Korbaffo (Kliping)

Seperti mimpi dan memang benar seperti mimpi. Entah siapa yang mulai dan atas perintah siapa, semua tidak tahu. Satu hal pasti bahwa eksodus besar besaran dari Timor Timur ke Timor Barat tidak terbendung. Lautan manusia memadati halaman Kodim 1618 Timor Tengah Utama sejak malam Senin 30 Agustus 1999 kala itu. Sebagai guru muda yang biasa bergaul dengan para tentara muda ketika melihat begitu banyak orang saya ke sana, ada anak kecil, ada yang remaja dan ada yang tua renta.

Malam itu Senin, 30 Agustus di tahun 1999 ada satu pengalaman yang tidak pernah saya lupakan. Pusat perhatian saya pada seorang anak kecil usia ditaksir 3 atau 4 tahun. Semua pengungsi saat itu yang jumlah lumayan banyak di suguhi minuman kemasan oleh para tentara. Anak kecil yang menjadi pusat perhatian saya terus merontak, sang anak kecil itu menangis jadi jadinya. Dalam tangisannya itu terdengar suara "au he iun ek kopo", au he iun ek kopo. ". Kalimat pendek "au he iun ek kopo"( Bahasa Dawan) kalua diterjemahkan secara lurus "saya mau minum pake kopo". Kopo adalah sejenis gelas atau tempat minum yang terbuat dari plastik atau entah apa yang dimaksud oleh sang bocah itu.

Semenjak malam itu, kota Kefamenanu memang benar benar mencekam. Saya tidak tahu situasi di Atambua dan sekitarnya, yang saya tahu peris adalah kota Kefamenanu dan sekitarnya. Kendaraan roda dan roda empat hilir mudik. Ada sekolompok orang dengan pita merah putih di kepala, dengan peralatan perangnya ada yang bawa kelewang, tombak, ada yang membawa benda benda tertentu sejenis senjata mungkin itu yang disebut senjata rakitan dan sepertinya kelompok itulah yang menguasai medan.

Saya bingung dalam hati saya bertanya, orang sebanyak ini mau ditempatkan dimana? Gedung gedung sekolah, aula paroki, dan gedung gedung milik pemerintahan menjadi pilihan menempatkan untuk sementara para pengungsi Timor Timur itu.

Suasana memang mencekam dan benar benar mencekam saat itu. Isue penemuan mayat tanpa kepala terdengar dimana-mana meski setelah di cek banyak ketidakbenarannya.

Sumber gambar : Tanus Korbaffo (Kliping)
Sumber gambar : Tanus Korbaffo (Kliping)

Selasa, 31 Agustus 1999 pagi hari saya berjalan ke gereja paroki Naesleu dan sejenak berbincang dengan Diakon dan sekretaris paroki. Ya kami sepakat untuk membantu semampu kami.

Tugas saya selain sebagai guru honor, di paroki saya diberi tugas sebagai pembina kaum remaja, saya bahagia karena dalam perayaan ekaristi pada hari minggu bersama anak anak sekami saya yang diberi kesempatan untuk memberi renungan atau kotbah. Saya juga berkunjung ke kelompok umat basis untuk urusan penerimaan sakramen karena tugas itu maka saya mendapat tambahan rejeki.

Oo ia sekedar informasi, Keuskupan Atambua saat itu hanya memiliki dua dekenat yakni dekenat Bellu dan dekenat Kefamenanu. Keuskupan Atambua membawahi dua kabupaten yaitu Kabupaten Bellu dan kabuten TTU(saat itu).

Sejak Selasa, 30 Agustus 1999, banyak orang dengan caranya membantu para pengungsi. Saya di panggil oleh Pastor Deken Kefamenanu dan diberi tugas bersama ibu ibu Legio Maria dan beberapa MUDIKA (muda mudi Katolik) menangani para pengungsi. Tindakan pertama yang kami lakukan adalah mendata titik titik pengungsian. Beras mie instan, kopi gula, pakaian layak pakai berdatangan ke kantor pusat dekanat Kefamenanu.

Di kantor dekenat ada sekelompok ibu dan anak anak muda mengatur semuanya. Sedangkan saya dan beberapa orang bertugas menyalurkan. Capek karena harus naik turun gunung, masuk keluar kampung menjumpai para pengungsi untuk menyalurkan bantuan. Syukur karena di sekolah saya hanya mengajar tiga kelas berarti seminggu 6 jam pelajaran, berarti saya manfaatkan satu hari ful di sekolah sehingga hari hari lain di lapangan.

LSM -- LSM local maupun Nasional bahu membahu membatu meringankan beban para pengungsi. Saya tidak tahu persis enta semingu setelah 29 Agustus atau kuarang dari seminggu? Yang jelas Lembaga PBB untuk urusan pengungsi UNHCR saat itu hadir di Timor. Bantuan begitu banyak. Kini LSM LSM local bukan lagi mengumpulkan bantuan dan disalurkan tetapi bermitra dengan UNHCR menjadi penyalur bantuan.

Anak anak usia sekolah SD, SMP, atau SMA/SMK tanpa sepotong surat keteranganpun diterima disekolah sekolah yang dekat dengan lokasi pengunsiannya. Sekolah tendapun dibangun. Naen sebuah lokasi pilihan pemerintah TTU menjadi lokasi pengungsian.

Hari demi hari aku bergelut dengan urusan pengungsian, sabar dan sabar itulah kata yang terus hidup dalam hatiku ketika berada di depan orang orang yang mengungsi itu. Mungkin karena situasi memaksa mereka bertindak demikian. Para pengungsi umumnya ingin yang pertama, bantuan harus dia yang pertama dapat. Antri mesti diteriakkan ulang ulang.

Tawaran terus bergabung dengan UNHCR atau lembaga-lembaga sosial lainnya saat terus menggangu pikiran saya. Namun satu hal yang tidak pernah luntur dalam sanubariku adalah ingin menyelesaikan studi paling tidak sampai S1 dan harus di Malang-Jawa Timur. Niat tulus itu akhirnya kesampaian. Setelah Bpk. Paulus Sako Tanouf mengurus segalanya di Institut Pastoral Indonesia Malang-Jawa Timur, saya harus meninggalkan semua yang saya layani selama ini, termasuk anak-anak dan para pengungsi yang persoalannya tidak tuntas tuntas.

Status Pak Guru yang saya sandang kurang lebih satu tahun, status pelayan kaum pengungsi bersama puluhan ibu ibu Legio Maria Dekenat TTU dan OMK Paroki Sta.Theresia Kefamenanu harus saya lepas dan kembali menyandang status mahasiswa.

Hari hari ku sebagai mahasiswa di Malang berjalan normal.

Karena kecintaan saya akan Timor Timur (TimTim) saat itu, saat -- saat menanti wisuda, saya mengumpulkan yang tercecer di sana sini tulisan lepas seputar Timor Leste dalam sebuah kliping setebal 81 hal di bawah judul " Timor Leste Pra dan pasca kemerdekaan dalam berita.

Satu harapan saat membuat kliping adalah demi anak anak Timor Leste di kemudian hari......

Kupang, Akhir September 2020

Refleksi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun