Bulan Juli 1999 awal saya mulai menjalani tugas baru saya sebagai guru honor di sekolah itu. Situasi saat itu memang biasa biasa saja walau terkadang terjadi insiden maklum Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) berbatasan lansung dengan Oekusi.
Saya ingat benar karena tiap hari semenjak menempati ruangan kecil diujung ruang - ruang kelas itu pasti bersosialisasi dengan para tentara terutama tentara-tentara muda. Para tentara memang siaga benar saat itu karena banyak orang yang mulai meninggalkan Timor- Timur ke Timor Barat dan sekitarnya.
Senin 30 Agustus 1999 Yang Mengubah Segalanya
Seperti mimpi dan memang benar seperti mimpi. Entah siapa yang mulai dan atas perintah siapa, semua tidak tahu. Satu hal pasti bahwa eksodus besar besaran dari Timor Timur ke Timor Barat tidak terbendung. Lautan manusia memadati halaman Kodim 1618 Timor Tengah Utama sejak malam Senin 30 Agustus 1999 kala itu. Sebagai guru muda yang biasa bergaul dengan para tentara muda ketika melihat begitu banyak orang saya ke sana, ada anak kecil, ada yang remaja dan ada yang tua renta.
Malam itu Senin, 30 Agustus di tahun 1999 ada satu pengalaman yang tidak pernah saya lupakan. Pusat perhatian saya pada seorang anak kecil usia ditaksir 3 atau 4 tahun. Semua pengungsi saat itu yang jumlah lumayan banyak di suguhi minuman kemasan oleh para tentara. Anak kecil yang menjadi pusat perhatian saya terus merontak, sang anak kecil itu menangis jadi jadinya. Dalam tangisannya itu terdengar suara "au he iun ek kopo", au he iun ek kopo. ". Kalimat pendek "au he iun ek kopo"( Bahasa Dawan) kalua diterjemahkan secara lurus "saya mau minum pake kopo". Kopo adalah sejenis gelas atau tempat minum yang terbuat dari plastik atau entah apa yang dimaksud oleh sang bocah itu.
Semenjak malam itu, kota Kefamenanu memang benar benar mencekam. Saya tidak tahu situasi di Atambua dan sekitarnya, yang saya tahu peris adalah kota Kefamenanu dan sekitarnya. Kendaraan roda dan roda empat hilir mudik. Ada sekolompok orang dengan pita merah putih di kepala, dengan peralatan perangnya ada yang bawa kelewang, tombak, ada yang membawa benda benda tertentu sejenis senjata mungkin itu yang disebut senjata rakitan dan sepertinya kelompok itulah yang menguasai medan.
Saya bingung dalam hati saya bertanya, orang sebanyak ini mau ditempatkan dimana? Gedung gedung sekolah, aula paroki, dan gedung gedung milik pemerintahan menjadi pilihan menempatkan untuk sementara para pengungsi Timor Timur itu.
Suasana memang mencekam dan benar benar mencekam saat itu. Isue penemuan mayat tanpa kepala terdengar dimana-mana meski setelah di cek banyak ketidakbenarannya.
Selasa, 31 Agustus 1999 pagi hari saya berjalan ke gereja paroki Naesleu dan sejenak berbincang dengan Diakon dan sekretaris paroki. Ya kami sepakat untuk membantu semampu kami.
Tugas saya selain sebagai guru honor, di paroki saya diberi tugas sebagai pembina kaum remaja, saya bahagia karena dalam perayaan ekaristi pada hari minggu bersama anak anak sekami saya yang diberi kesempatan untuk memberi renungan atau kotbah. Saya juga berkunjung ke kelompok umat basis untuk urusan penerimaan sakramen karena tugas itu maka saya mendapat tambahan rejeki.