Oo ia sekedar informasi, Keuskupan Atambua saat itu hanya memiliki dua dekenat yakni dekenat Bellu dan dekenat Kefamenanu. Keuskupan Atambua membawahi dua kabupaten yaitu Kabupaten Bellu dan kabuten TTU(saat itu).
Sejak Selasa, 30 Agustus 1999, banyak orang dengan caranya membantu para pengungsi. Saya di panggil oleh Pastor Deken Kefamenanu dan diberi tugas bersama ibu ibu Legio Maria dan beberapa MUDIKA (muda mudi Katolik) menangani para pengungsi. Tindakan pertama yang kami lakukan adalah mendata titik titik pengungsian. Beras mie instan, kopi gula, pakaian layak pakai berdatangan ke kantor pusat dekanat Kefamenanu.
Di kantor dekenat ada sekelompok ibu dan anak anak muda mengatur semuanya. Sedangkan saya dan beberapa orang bertugas menyalurkan. Capek karena harus naik turun gunung, masuk keluar kampung menjumpai para pengungsi untuk menyalurkan bantuan. Syukur karena di sekolah saya hanya mengajar tiga kelas berarti seminggu 6 jam pelajaran, berarti saya manfaatkan satu hari ful di sekolah sehingga hari hari lain di lapangan.
LSM -- LSM local maupun Nasional bahu membahu membatu meringankan beban para pengungsi. Saya tidak tahu persis enta semingu setelah 29 Agustus atau kuarang dari seminggu? Yang jelas Lembaga PBB untuk urusan pengungsi UNHCR saat itu hadir di Timor. Bantuan begitu banyak. Kini LSM LSM local bukan lagi mengumpulkan bantuan dan disalurkan tetapi bermitra dengan UNHCR menjadi penyalur bantuan.
Anak anak usia sekolah SD, SMP, atau SMA/SMK tanpa sepotong surat keteranganpun diterima disekolah sekolah yang dekat dengan lokasi pengunsiannya. Sekolah tendapun dibangun. Naen sebuah lokasi pilihan pemerintah TTU menjadi lokasi pengungsian.
Hari demi hari aku bergelut dengan urusan pengungsian, sabar dan sabar itulah kata yang terus hidup dalam hatiku ketika berada di depan orang orang yang mengungsi itu. Mungkin karena situasi memaksa mereka bertindak demikian. Para pengungsi umumnya ingin yang pertama, bantuan harus dia yang pertama dapat. Antri mesti diteriakkan ulang ulang.
Tawaran terus bergabung dengan UNHCR atau lembaga-lembaga sosial lainnya saat terus menggangu pikiran saya. Namun satu hal yang tidak pernah luntur dalam sanubariku adalah ingin menyelesaikan studi paling tidak sampai S1 dan harus di Malang-Jawa Timur. Niat tulus itu akhirnya kesampaian. Setelah Bpk. Paulus Sako Tanouf mengurus segalanya di Institut Pastoral Indonesia Malang-Jawa Timur, saya harus meninggalkan semua yang saya layani selama ini, termasuk anak-anak dan para pengungsi yang persoalannya tidak tuntas tuntas.
Status Pak Guru yang saya sandang kurang lebih satu tahun, status pelayan kaum pengungsi bersama puluhan ibu ibu Legio Maria Dekenat TTU dan OMK Paroki Sta.Theresia Kefamenanu harus saya lepas dan kembali menyandang status mahasiswa.
Hari hari ku sebagai mahasiswa di Malang berjalan normal.
Karena kecintaan saya akan Timor Timur (TimTim) saat itu, saat -- saat menanti wisuda, saya mengumpulkan yang tercecer di sana sini tulisan lepas seputar Timor Leste dalam sebuah kliping setebal 81 hal di bawah judul " Timor Leste Pra dan pasca kemerdekaan dalam berita.
Satu harapan saat membuat kliping adalah demi anak anak Timor Leste di kemudian hari......