Mohon tunggu...
Joko Lodang
Joko Lodang Mohon Tunggu... -

Akun ini dikelola oleh kuartet Sarjono, Eko, Marcello, dan Endang (disingkat JOKO LODANG). Kami berempat menolak hegemoni oleh siapapun dan dari apapun.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Materialisme Demokrasi Langsung

17 September 2014   17:58 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:26 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisa jadi tulisan kami ini adalah yang kesekian puluh ribu muncul di tengah hangatnya perdebatan tentang RUU Pilkada dengan satu pertanyaan, langsung atau melalui dewan. Semua perdebatan memiliki argumentasi 'benar', namun satu hal yang pasti benar bahwa dalam diskusi kita tentang RUU Pilkada ini adalah tidak ada narasi tunggal soal kebenaran.

Ketika kami terbawa dalam berbagai macam forum yang membahas RUU Pilkada ini, kami cukup terganggu dengan narasi tunggal tentang demokrasi dan kedaulatan rakyat yang disuarakan oleh pendukung pilkada langsung. Kami terganggu bukan soal pilihan langsung dan tidak langsungnya. Tapi kami terganggu dan sangat terintimidasi bahwa saat ini sedang terjadi penjajahan narasi tunggal, narasi besar, yang namanya KEDAULATAN RAKYAT, dan secara tunggal dan 'benar' diterjemahkan sebagai pemilihan langsung.

Demokrasi di negara kita saja banyak variannya sekarang ini. Apalagi kalau kita melihat sejarah republik ini, maka sistem tata negara kita juga majemuk. Sebut saja penetapan gubernur di DIY, sistem noken di Papua, penunjukan walikota di DKI, pemberlakukan syarat khusus di Papua dan Aceh. Semua adalah varian demokrasi yang niscaya dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Lupakan Amerika, lupakan Australia, lupakan Eropa.

Dalam keniscayaan masyarakat yang majemuk maka sistem demokrasi yang dianut lebih banyak menghasilkan konsensus daripada kompetisi karena ada nilai keutuhan bangsa dan keadilan yang lebih ingin diselamatkan daripada menuhankan prinsip demokrasi ala Barat.

Tapi sudahlah. Perdebatan tentang pilkada langsung atau bukan ini mengingatkan kami kembali tentang diskusi tentang demokrasi yang menurut kami sampai sekarang ini tidak terbantahkan. Kami ingat kembali dengan seorang pemikir asal Amerika, namanya Barrington Moore. Dia memiliki sebuah tesis tentang demokrasi yang rasanya sampai sekarang ini, apalagi dikaitkan dengan debat RUU Pilkada ini, benar bahwa demokrasi ini adalah hasil agregasi kepentingan kelompok borjuis dan menjadi instrumen untuk melanggengkan proletariatisasi dalam sistem kapitalisme.

Demokrasi, dalam pandangang Moore ini, adalah sistem politik-sosial yang tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa yang berlangsung di masyarakat, yaitu antara kekuatan politik, kekuatan ekonomi, dan oleh karenanya menjadi bagian dari relasi antar kelas sosial, khususnya mereka yang borjuis dan proletariat. Demokrasi adalah produk politik yang memang sudah sejak awal didesain menjadi bagian penting dari kemapanan kapitalisme agar relasi sosial tersebut tetap bisa menjaga sistem produksi dan keuntungan.

Agak aneh kemudian jika narasi demokrasi yang selalu dikaitkan dengan "kesejahteraan rakyat" dibaca secara lugu bahwa memang "rakyat" menjadi sejahtera karena sudah memiliki dan meyakini demokrasi. Dalam konteks Moore ini, maka kesejahteraan dan kemakmuran yang dianggap sebagai variabel dependen karena adanya demokrasi sejatinya bukan untuk "rakyat", tetapi lebih patut dibaca sebagai instrumen kelas.

Jadi sebaiknya jangan bicara lagi soal rakyat. Tapi mulailah bicara soal kelas karena variabel ini lebih jelas ukurannya, dan lebih menyehatkan pemikiran bangsa dalam diskursus tentang pilkada langsung atau tidak ini. Jika kita melihat demokrasi dikaitkan dengan kepentingan kelas, maka -dalam kacamata Moore- demokrasi dan segala turunannya adalah arena pertarungan kelas dominan berhadapan dengan kelas terjajah.

Kelas dominan dalam konteks ini adalah mereka yang menciptakan dan memperoleh keuntungan materiil dan ideologis atas sistem yang ia ciptakan sendiri, yang namanya demokrasi ini, sementara kelas terjajah adalah mereka yang diberi posisi sebagai "warga negara" atau "rakyat" namun tidak memperoleh bagian dari proses produksi tersebut.

Demokrasi langsung model pilkada langsung yang selama ini menjadi permainan tunggal di negara kita ini adalah produk yang diciptakan oleh kelas dominan ini. Pembuat undang-undang adalah mereka yang sudah lolos menjadi anggota parlemen dari partai masing-masing dan sudah pasti didesain untuk mengukuhkan kepentingannya. Di sisi yang lain, melihat demokrasi hanya dari sisi partai politik juga naif. Demokrasi telah didesain agar melahirkan banyak pelaku utama, di luar partai politik, sehingga kelas dominan menjadi lebih variatif, dengan tujuan tunggal yaitu pelanggengan kuasa modal atas demokrasi.

Demokrasi langsung oleh karenanya telah menjadi sebuah industri politik yang melahirkan kelas-kelas dominan baru, seperti perusahaan polling dan survei serta konsultan politik, dimana mereka tidak lagi bisa dianggap mewakili suara mereka yang terjajah, tetapi kelas-kelas dominan baru ini adalah bagian inheren dari suara borjuasi. Demikianlah demokrasi dalam perdebatan RUU Pilkada ini berlangsung dalam arena yang sebenarnya TIDAK ADA KAITANNYA DENGAN "RAKYAT".

Pengamat politik yang juga merangkap sebagai surveyor yang merangkap juga sebagai lembaga swadaya masyarakat, yang lantas juga berjalin-berkelindan dengan jaringan aktivisme yang lain perlu dibaca sebagai bagian dari materialisme demokrasi langsung ini. Suara mereka bukan suara rakyat. Opini mereka juga bukan opini kelas terjajah. Suara mereka adalah suara yang mewakili sebuah kelas baru dalam demokrasi kapitalistik ini yang tampaknya sedang berhadap-hapadan dengan kelompok-kelompok borjuasi lama maupun baru yang selama ini ada dalam partai politik yang menguasai parlemen.

Perbedatan RUU Pilkada langsung atau tidak ini adalah suara-suara keras dari kelas yang sama, yaitu kelas dominan borjuis. Industriawan demokrasi langsung ini ingin memastikan bahwa pilkada harus tetap langsung sehingga desain kebijakan lokal yang dihasilkan bisa menjamin keberlangsungan produksi dan profitabilitas perusahaannya. Tidak berhenti hanya pada pemilihan, tetapi juga menjadi bagian profitable yang bisa menempel pada kebijakan lokal. Sementara mereka yang dalam partai-partai politik sedang melakukan reorganisasi bahwa demokrasi yang membuncah ini semakin sulit dikendalikan dan bisa jadi makin lama makin mengalami ketergerusan ekonomi karena semakin luasnya arena produksi dalam demokrasi langsung.

Pilkada langsung pada akhirnya adalah varian demokrasi yang sumber dan ujungnya adalah sebagai instrumen pelanggengan kelas borjuasi baru dalam politik kontemporer Indonesia. Selamat menonton!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun