Pengamat politik yang juga merangkap sebagai surveyor yang merangkap juga sebagai lembaga swadaya masyarakat, yang lantas juga berjalin-berkelindan dengan jaringan aktivisme yang lain perlu dibaca sebagai bagian dari materialisme demokrasi langsung ini. Suara mereka bukan suara rakyat. Opini mereka juga bukan opini kelas terjajah. Suara mereka adalah suara yang mewakili sebuah kelas baru dalam demokrasi kapitalistik ini yang tampaknya sedang berhadap-hapadan dengan kelompok-kelompok borjuasi lama maupun baru yang selama ini ada dalam partai politik yang menguasai parlemen.
Perbedatan RUU Pilkada langsung atau tidak ini adalah suara-suara keras dari kelas yang sama, yaitu kelas dominan borjuis. Industriawan demokrasi langsung ini ingin memastikan bahwa pilkada harus tetap langsung sehingga desain kebijakan lokal yang dihasilkan bisa menjamin keberlangsungan produksi dan profitabilitas perusahaannya. Tidak berhenti hanya pada pemilihan, tetapi juga menjadi bagian profitable yang bisa menempel pada kebijakan lokal. Sementara mereka yang dalam partai-partai politik sedang melakukan reorganisasi bahwa demokrasi yang membuncah ini semakin sulit dikendalikan dan bisa jadi makin lama makin mengalami ketergerusan ekonomi karena semakin luasnya arena produksi dalam demokrasi langsung.
Pilkada langsung pada akhirnya adalah varian demokrasi yang sumber dan ujungnya adalah sebagai instrumen pelanggengan kelas borjuasi baru dalam politik kontemporer Indonesia. Selamat menonton!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H