“Lihat itu Jo..!!” Teriak seorang anak menunjuk pohon Pala[1] tua. Tingginya sekitar 2,5 meter. Sedang berbunga.
“Ada apa..!? oh..tapi aku tak pandai memanjat Mik..” Tanggap Jo menghampiri, setelah sebelumnya mencari gundu di rerumputan yang jatuh dari tangannya.
Senyap masih mengulum pagi. Mereka berdua memecahnya. Sebuah rumah bergarasi berlapis terpal coklat lusuh, tak jauh di hadapan mereka pun masih diam. Belum tampak tanda kehidupan. Namun, seorang anak tiba-tiba muncul dari palang pintunya. Berdiri memandangi. Dengan tangan kanannya mencengkeram benda berhulu: Sabit. Anak itu menghampiri, kedua matanya asing menggentayangi mereka berdua.
Keringat dingin menjalar ke tubuh mereka seketika. Dada mereka pucat bergemuruh. Membuat mereka gontai melangkah mundur. Waswas. Siap-siap lari terbirit.
“Biar aku ambilkan jika kalian mau..” Katanya menghentikan langkah mundur mereka. Sabitnya beralih ke pinggang. Dia berancang-ancang, siap menggerayapi pohonnya.
Keduanya memperhatikan bagaimana dahan dan cabang dilangkahinya satu per satu. Sesekali bunga pala-nya berjatuhan rontok. Mereka masih diam dengan mata melebar. Bingung dan aneh menjerat pikiran mereka berdua. Sarangnya di ujung jauh dahan. Bagaimana anak itu menggapai sarang burung itu?. Pikir keduanya. Anak itu harus membuat jari kakinya berjinjit kepayahan.
“Awas hati-ha..!!” Teriak Jo dengan dua telapak tangan mengapit mulutnya. Agar bersuara lantang. Namun harus terputus..
“Kraaaack..”
Dahan yang dipijakinya patah dan jatuh. Tangan kiri yang terkait erat ke dahan kuat menyelamatkannya. Sedang sarang sudah di tangan lainnya. Dibawah pohon itu terdapat tempat pembakaran sampah dan di sekitarnya beling-beling[2] liar menganga tajam. Siap mencabik tubuhnya. Andai saja ia benar-benar tertiarap jatuh. Belum lagi sabit tanpa sarangka[3] tertanggal dari pinggang ke biritnya.
“Apa kau baik-baik saja..?” Tanya Jo. Pasi wajahnya.
Mik, di samping Jo hanya diam mendongak. Fana. Seperti melihat aksi heroik yang biasa ia tonton setiap hari minggu di Televisi. Tatapannya menyelam kagum. Walau, sebenarnya, terbesit gumam kekhawatiran dalam hatinya. Ia tahu, gesekan kasar dahan patah melukai mata kakinya. Memar berdarah.
“Ya, aku tak apa-apa..” Jawabnya setengah tertahan engah.
Anak itu pun perlahan turun. Satu tangan memasak sarang burung dan tangan lainnya berpaut-kutat pada badan pohon. Tubuhnya diguyur keringat, lebat. Setelah mendarat, ia menarik nafas dalam-dalam dan berikutnya semua nafas engah dan lelah ia keluarkan melalui mulut dan hidungnya.
“Ini..” Katanya singkat, masih terengah, menyodorkan sarang itu.
“Ambilah Mik..” Jo mengoyak lamunnya. Karena, sedari tadi tatapan Mik kosong. Masih terkagum.
Sesadarnya. Ia tersenyum malu seraya mengambil sarang itu dengan kedua tangannya. Akan tetapi matanya kembali menganga terjerembap ke dalam sarang. Semua telurnya pecah. Seperti berdiang, tiga ekor piyik[4] burung pipit berimpitan kedinginan. Mengunyah hatinya. Ketiga burung terkatup rapat, namun menjerit-jerit. Bunyi ‘ciak’-nya berhasil menusuk sumbu hati. Matanya berkaca-kaca.
Anak itu menepuk-nepuk membersihkan seluruh tubuhnya juga rambut kritingnya. Pipi lesung dan mata sipit dengan kulit lembut-putih-tipis membuatnya mirip peranakan Tionghoa. Anak itu sedikit lebih tinggi dari Mik, namun badannya hampir sama. Tidak gemuk juga tidak kurus. Kemudian anak itu membungkuk memunguti bunga-bunga pala yang rotok tadi.
“Aku Jo..” Kata Jo singkat menjulurkan tangannya.
“Aku Garang..” Anak itu berbalik dari memungut dan menyambut tangan Jo.
“Kami baru pindah dari kidul[5], lembur sawah[6]” Tandas Jo.
“Oh.. Selamat datang di Kedung Hilir[7]” Katanya singkat dengan senyum simpul.
Saat itu mata Miko masih menggenangi sarang. Belum lepas menatapi piyik-piyik itu malang. Iba menyarankannya untuk mengembalikan sarang itu, namun, iba pula yang merayu untuk menjaganya. Sampai mereka berbulu. Bersayap. Mengepak-kepak. Pikir Miko dalam benaknya. Membayangkan tiga burung itu terbang mengitarinya sembari menjerit seru, nanti.
“Mik.. Mi-k…” Jo mencoba menyadarkan, melambaikan tangan didepan wajahnya.
“Iya, Jo..” Miko menyahut dengan sedikit terkaget.
“Ini Garang..”
“Oh..hai..Aku Mik..” Setelah memindahkan sarang ke tangan kirinya. Ia segera menyergap tangan Garang kuat.
“Buat apa bakal buah itu..?” Tanya Jo penasaran.
“Coba saja, enak kok..tapi..sedikit masam dan sepet..” Jawabnya menyodorkan bakal buah yang baru dikumpulkannya.
“Apa kakimu tidak apa-apa, berdarah seperti itu..?” Mik memutus percakapan Jo dengan dahi menggernyit.
“Ti-d..”
“Sebentar aku ke rumah dulu..” Mik memotong kalimat Garang yang belum terucap penuh dan bergegas lari.
Mik pergi mengambil obat merah[8]. Garang dan Jo membawa sarang ke garasi. Disana ada sebuah sangkar kosong. Selagi Jo memastikan di sudut sangkar mana sarang itu akan disimpan, Garang menyiapkan sedikit beras, air segelas dan halu[9] ditentengnya dari dapur. Mereka akan membuat makanan burung karena sedari tadi mereka gaduh. Terciak-berteriak.
“Mana lukamu..” Mik datang menghela nafas yang sedikit tertelan karena telah berlari.
“Bagus sudah kau bersihkan.. tinggal..” Mik langsung mengolesi luka Garang.
“A-du-du-duh..aau.. pe-dih.. Mik..” Teriak Garang sedikit menyentak.
“Selesai..” Tandas Jo sembari mengeruk beberapa sendok tumbukan ke pisin[10].
Mereka asyik menyuapi tiga anak burung. Sekedar meredam jeritnya. Sekedar menjaganya.
***
Bau lengang itu sepi, sulit ditata kata. Selalu menuang kesal kedalam diam. Hening walau hari sedang bergumul gaduh. Di kampung ini hampir tak ada anak seumuran Garang. Walaupun Mik baru mengenalnya kemarin. Mereka kini seperti teman akrab yang kian lama diikat waktu. Besing jenaka kini selalu menggaung di garasi setiap hari. Tak ada sepi, hanya bahagia yang tak terbahasakan.
“Gaaa..raaa..ng..” Mik memanggil di depan pintu garasi.
Garang keluar dengan topi rimba hijau longgar. Kantong plastik hitam bertali menggantung kesamping kanan. Serupa tas selempang. Dan sebuah kayu rotan yang baru ia cabut dari sapu ijuk erat ditangan kanannya. Begitupun Mik, ia mengenakan topi merah berparuh satu. Kantong plastik putih menyelempang. Dan sebuah belati berkepala garuda menggantung di dadanya, mengalung. Cukup gagah. Seperti serdadu kancil siap menuju medan perang. Jo tidak ikut karena hari ini bukan hari minggu lagi, ia harus pergi sekolah.
“Be-ra-ng-ka-t!!” Seru Garang mengepal langit.
***
“Kita pelan-pelan saja kawan..” Bisik Garang pelan sekali.
“Haah..” Sontak Mik sedikit teriak tak mendengar apa yang dikatakan Garang.
“Pl-etaak..”
“Auuu..” Jerit Mik meraba kepala yang dijitak Garang.
“Jangan beriisiik..shuuut..!!” Garang melekatkan telunjuknya ke bibir, mendiamkan.
Mereka mengendap-endap. Diam-diam dan pelan. Takut si pemilik sawah mengetahui aksi mereka. Kebetulan bulan ini padinya belum masak. Satu per satu tiap tangkai padi yang masih hijau mereka petik dan dimasukan ke dalam kantong. Sesekali kepala mereka naik turun, mengawasi situasi.
“Demi burung kita..!!” Garang meyakinkan Mik dengan tatapan berani.
“Yah, de-mi..bu-ru-ng..kita..!!” Jawab Mik seperti membaca proklamasi.
“Rang..ada ular..” Desah Miko memberi tahu, karena ia takut kena jitak lagi.
Garang tak percaya. Ia pun melongok kebelakang, seperti yang di tunjukan bentuk wajah ketakutan Mik. Benar saja ular hitam melintas dibelakangnya. Tak kuasa menahan ketakutan, Garang berteriak. Menggemalah udara.
“Siapa itu..!?” Teriak seorang Petani dari saung[11].
Mendengar itu Garang dan Mik sepakat untuk lari terkial-kial.
“Ga-rang..!?” Teriak si petani dengan sedikit nada tanya.
“Maaf paman aku minta padinya sedikit ya.. dadah..” Jawab Garang terbirit bersama Mik dan melambaikan tangan ke arah si Petani.
Kata orang, selalu ada cara untuk berpijak; bersiul, berteriak dan bernyanyi. Berlari bersama teman adalah tarian hujan yang diakhiri irisan pelangi. Seperti suara serakan rerumputan, dedaunan, semak-semak dan pesawahan digelitiki angin selatan. Menari. Berunjuk gigi pada langit sembari menantang terik matahari hingga menjadi bulan-bulanan petang hari adalah hukum dari berani dan berlelah-lelah. Tak peduli waktu membatasi atau mendefinisi.
“Kenapa kita tidak punya sayap..??” Tanya Mik terengah sesampainya di depan sangkar.
Garang menengadah mencari-cari jawaban ke atap. Tiba-tiba ia menutup matanya dan mengembangkan kedua tangannya. Memutari Miko dengan berlari kecil. Sesekali mengepak seperti memiliki sayap. Mik pun mengikutinya. Mereka berdua mengitari garasi.
“Te-r-ba-ng..!!” Suara mereka riuh rendah mengeja citra udara sembari berputar-putar.
“Kalian kena flu burung..ya..?” Tanya Jo dengan kepala melongok di dahan pintu garasi.
Garang tiba-tiba terhenti, Mik yang membuntuti menabraknya. []
Ilustrasi gambar
[1] Biasanya biji buahnya akan menjadi rempah dapur, dan buahnya dibuat manisan atau asinan kadang ada juga yang memakannya langsung walau rasanya masam luar biasa.
[2] Pecahan kaca atau gelas bekas.
[3] Sarung benda tajam; seperti pedang, kris dll.
[4] Anak burung yang baru menetas.
[5] Bahasa sunda dari kata Selatan.
[6] Salah satu kampung di Cianjur tepatnya di Desa Sukamanah-Kec. Cugenang.
[7] Salah satu kampung di Cianjur, berjarak sekitar 1,5 KM dari Lembur Sawah.
[8] Sebutan obat untuk menghentikan pendarahan, sejenis Betadine
[9] Kayu panjang dan kuat memiliki panjang sekitar 1-1,5 m yang biasa dipakai untuk menumbuk padi di lesung.
[10] Piring berukuran kecil yang biasa di pakai untuk alas gelas.
[11] Gubuk yang sering berada disawah, tempat menunggu bagi petani untuk beristirahat dan mengamankan sawahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H