“Bagus sudah kau bersihkan.. tinggal..” Mik langsung mengolesi luka Garang.
“A-du-du-duh..aau.. pe-dih.. Mik..” Teriak Garang sedikit menyentak.
“Selesai..” Tandas Jo sembari mengeruk beberapa sendok tumbukan ke pisin[10].
Mereka asyik menyuapi tiga anak burung. Sekedar meredam jeritnya. Sekedar menjaganya.
***
Bau lengang itu sepi, sulit ditata kata. Selalu menuang kesal kedalam diam. Hening walau hari sedang bergumul gaduh. Di kampung ini hampir tak ada anak seumuran Garang. Walaupun Mik baru mengenalnya kemarin. Mereka kini seperti teman akrab yang kian lama diikat waktu. Besing jenaka kini selalu menggaung di garasi setiap hari. Tak ada sepi, hanya bahagia yang tak terbahasakan.
“Gaaa..raaa..ng..” Mik memanggil di depan pintu garasi.
Garang keluar dengan topi rimba hijau longgar. Kantong plastik hitam bertali menggantung kesamping kanan. Serupa tas selempang. Dan sebuah kayu rotan yang baru ia cabut dari sapu ijuk erat ditangan kanannya. Begitupun Mik, ia mengenakan topi merah berparuh satu. Kantong plastik putih menyelempang. Dan sebuah belati berkepala garuda menggantung di dadanya, mengalung. Cukup gagah. Seperti serdadu kancil siap menuju medan perang. Jo tidak ikut karena hari ini bukan hari minggu lagi, ia harus pergi sekolah.
“Be-ra-ng-ka-t!!” Seru Garang mengepal langit.
***
“Kita pelan-pelan saja kawan..” Bisik Garang pelan sekali.
“Haah..” Sontak Mik sedikit teriak tak mendengar apa yang dikatakan Garang.
“Pl-etaak..”