“Ya, aku tak apa-apa..” Jawabnya setengah tertahan engah.
Anak itu pun perlahan turun. Satu tangan memasak sarang burung dan tangan lainnya berpaut-kutat pada badan pohon. Tubuhnya diguyur keringat, lebat. Setelah mendarat, ia menarik nafas dalam-dalam dan berikutnya semua nafas engah dan lelah ia keluarkan melalui mulut dan hidungnya.
“Ini..” Katanya singkat, masih terengah, menyodorkan sarang itu.
“Ambilah Mik..” Jo mengoyak lamunnya. Karena, sedari tadi tatapan Mik kosong. Masih terkagum.
Sesadarnya. Ia tersenyum malu seraya mengambil sarang itu dengan kedua tangannya. Akan tetapi matanya kembali menganga terjerembap ke dalam sarang. Semua telurnya pecah. Seperti berdiang, tiga ekor piyik[4] burung pipit berimpitan kedinginan. Mengunyah hatinya. Ketiga burung terkatup rapat, namun menjerit-jerit. Bunyi ‘ciak’-nya berhasil menusuk sumbu hati. Matanya berkaca-kaca.
Anak itu menepuk-nepuk membersihkan seluruh tubuhnya juga rambut kritingnya. Pipi lesung dan mata sipit dengan kulit lembut-putih-tipis membuatnya mirip peranakan Tionghoa. Anak itu sedikit lebih tinggi dari Mik, namun badannya hampir sama. Tidak gemuk juga tidak kurus. Kemudian anak itu membungkuk memunguti bunga-bunga pala yang rotok tadi.
“Aku Jo..” Kata Jo singkat menjulurkan tangannya.
“Aku Garang..” Anak itu berbalik dari memungut dan menyambut tangan Jo.
“Kami baru pindah dari kidul[5], lembur sawah[6]” Tandas Jo.
“Oh.. Selamat datang di Kedung Hilir[7]” Katanya singkat dengan senyum simpul.
Saat itu mata Miko masih menggenangi sarang. Belum lepas menatapi piyik-piyik itu malang. Iba menyarankannya untuk mengembalikan sarang itu, namun, iba pula yang merayu untuk menjaganya. Sampai mereka berbulu. Bersayap. Mengepak-kepak. Pikir Miko dalam benaknya. Membayangkan tiga burung itu terbang mengitarinya sembari menjerit seru, nanti.