Pengantar
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada tanggal 1 Oktober setiap tahun merupakan saat yang sangat penting bagi rakyat Indonesia. Peristiwa ini memberikan kesempatan untuk menelaah kembali perjalanan sejarah bangsa dan merenungkan nilai-nilai mulia yang menjadi dasar negara kita. Perayaan ini bukan hanya sekadar acara tahunan biasa, tetapi merupakan waktu untuk membangkitkan kembali semangat persatuan dan kesatuan yang telah ditanamkan oleh para pejuang kemerdekaan. Bagi kaum muda, terutama generasi milenial, momen ini membuka jalan untuk memahami lebih mendalam arti Pancasila sebagai ideologi yang tetap relevan dan bahkan semakin penting di tengah perubahan dunia yang terus berubah (Latif, 2019).
Dalam era globalisasi dan perubahan teknologi yang pesat, generasi muda Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang rumit. Informasi yang mengalir deras dan hubungan antar budaya yang semakin erat seringkali mengaburkan batas-batas identitas nasional. Dalam situasi seperti ini, peringatan Hari Kesaktian Pancasila menjadi kesempatan berharga bagi kaum milenial untuk mempertegas kembali identitas mereka sebagai bangsa Indonesia. Perayaan ini mengingatkan bahwa di tengah kuatnya pengaruh global, nilai-nilai Pancasila tetap menjadi pedoman moral dan ideologis yang dapat mengarahkan langkah mereka dalam berkreasi dan memberikan sumbangsih kepada negara (Lestari, et al., 2019).
Lebih lanjut, bagi generasi milenial, Hari Kesaktian Pancasila memiliki dampak yang mendalam terhadap cara mereka melihat dan menangani berbagai persoalan masa kini. Dalam menghadapi perpecahan sosial, politik, dan ekonomi, nilai-nilai Pancasila dapat menjadi dasar untuk membangun diskusi yang membangun dan mencari jalan keluar yang merangkul semua pihak. Peringatan ini juga mendorong kaum milenial untuk menafsirkan ulang nilai-nilai Pancasila dalam konteks masa kini, misalnya bagaimana prinsip keadilan sosial dapat diterapkan dalam kebijakan ekonomi digital, atau bagaimana semangat gotong royong dapat diwujudkan melalui platform teknologi. Dengan demikian, Hari Kesaktian Pancasila bukan hanya menjadi waktu untuk merenung, tetapi juga menjadi pendorong bagi generasi milenial untuk menjadi penggerak perubahan yang tetap memegang teguh nilai-nilai luhur bangsa di tengah arus modernisasi dan globalisasi (Suryadi, 2021).
Makna Hari Kesaktian Pancasila
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober memiliki latar belakang sejarah yang mendalam, berkaitan erat dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Kejadian ini merupakan salah satu momen paling kritis dalam perjalanan sejarah Indonesia, ketika ideologi Pancasila menghadapi tantangan besar dari upaya penggulingan kekuasaan yang dihubungkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Asvi Warman Adam (2009), seorang ahli sejarah, berpendapat bahwa peristiwa G30S/PKI merupakan puncak dari perseteruan ideologis yang telah berlangsung lama di Indonesia, antara kelompok pendukung Pancasila dan mereka yang menginginkan paham komunis diterapkan. Peristiwa ini membuktikan bahwa Pancasila bukan sekadar gagasan tanpa makna, melainkan landasan mendasar yang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan untuk mempertahankannya.
Setelah peristiwa G30S/PKI, kedudukan Pancasila sebagai dasar negara semakin diperkuat dan ditegaskan tidak dapat digantikan. Soeharto, yang kemudian menjabat sebagai presiden kedua Republik Indonesia, menekankan pentingnya Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa. Kaelan (2018), menjelaskan bahwa peristiwa 1965 menjadi momentum untuk memperkokoh posisi Pancasila sebagai ideologi negara yang bersifat final. Hal ini tercermin dalam berbagai kebijakan pemerintah, termasuk penetapan Hari Kesaktian Pancasila sebagai hari peringatan nasional. Peringatan ini tidak hanya berfungsi sebagai pengingat sejarah, tetapi juga sebagai saat untuk merenungkan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa yang beraneka ragam melalui ideologi Pancasila.
Pancasila telah terbukti mampu menjadi perekat bagi bangsa Indonesia yang sangat beragam, lebih dari sekadar simbol belaka. Semboyan nasional Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, mencerminkan inti sari Pancasila dalam menyatukan keberagaman. Penelitian yang dilakukan oleh Darmaputera (1988) dalam karyanya "Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian Society" menunjukkan bagaimana Pancasila berperan sebagai "common denominator" atau titik temu yang menjembatani perbedaan suku, agama, dan budaya di Indonesia. Peristiwa G30S/PKI dan peringatan Hari Kesaktian Pancasila menjadi pengingat bahwa persatuan dan kesatuan bangsa bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, melainkan hasil dari komitmen bersama untuk menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Dalam konteks Indonesia masa kini, pemahaman ini menjadi semakin penting mengingat tantangan intoleransi dan radikalisme yang masih dihadapi bangsa Indonesia.
Â
Tantangan Generasi Milenial
Generasi milenial Indonesia kini menghadapi sejumlah tantangan besar. Pertama, mereka dihadapkan pada arus informasi global yang sangat cepat. Era digital telah mengubah cara generasi ini mengakses dan mengolah informasi dengan kecepatan dan jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Melalui penelitiannya, Supratman (2018) menunjukkan bahwa rata-rata milenial Indonesia menghabiskan lebih dari tujuh jam sehari untuk mengakses internet, terutama melalui ponsel pintar. Kecepatan arus informasi ini membawa peluang dan risiko sekaligus. Di satu sisi, akses terhadap pengetahuan global menjadi lebih mudah, namun di sisi lain, kemampuan untuk memastikan kebenaran informasi menjadi tantangan tersendiri. Fenomena "infobesitas" atau kelebihan informasi dapat menyebabkan kebingungan dan kesulitan dalam mengambil keputusan yang tepat ( Rahardjo et al., Â 2020).
Tantangan kedua yang dihadapi generasi milenial Indonesia adalah munculnya paham-paham baru yang terkadang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Globalisasi telah membuka jalan bagi masuknya berbagai pemikiran dan ideologi dari seluruh dunia, yang tidak selalu selaras dengan prinsip-prinsip Pancasila. Menchik (2016) menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan pemahaman ideologi transnasional di kalangan generasi muda Indonesia, termasuk paham-paham yang cenderung eksklusif dan tidak toleran. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan memudarnya pemahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara. Pemerintah dan lembaga pendidikan menghadapi tantangan untuk memperbarui pendidikan Pancasila agar tetap relevan dan menarik bagi generasi milenial (Latif, 2018).
Krisis identitas di tengah benturan budaya lokal dan global menjadi tantangan ketiga bagi milenial Indonesia. Sebagai generasi yang tumbuh di era globalisasi, milenial seringkali mengalami dilema antara mempertahankan nilai-nilai tradisional dan mengadopsi budaya global. Naafs dan White (2012) mengungkapkan bahwa banyak milenial Indonesia mengalami "percampuran budaya", di mana mereka berusaha menggabungkan unsur-unsur budaya lokal dan global dalam membentuk jati diri mereka. Namun, proses ini tidak selalu berjalan mulus dan seringkali menimbulkan konflik internal maupun eksternal. Tantangan bagi generasi ini adalah bagaimana mempertahankan akar budaya lokal sambil tetap terbuka terhadap perkembangan global, sebuah keseimbangan yang tidak mudah dicapai (Parker & Nilan, 2013).
Tantangan keempat yang dihadapi milenial Indonesia adalah perpecahan masyarakat akibat perbedaan pandangan politik dan sosial. Era media sosial telah memfasilitasi terbentuknya "ruang gema" dan "gelembung filter", di mana individu cenderung hanya terpapar pada informasi dan pandangan yang sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Lim (2017) dalam penelitiannya menemukan bahwa perpecahan di media sosial Indonesia semakin meningkat, terutama terkait isu-isu politik dan agama. Fenomena ini berpotensi memecah belah masyarakat dan mengancam persatuan bangsa. Bagi generasi milenial, tantangannya adalah bagaimana membangun dialog yang membangun di tengah perbedaan, menjembatani kesenjangan pemahaman, dan mempromosikan toleransi serta keberagaman sesuai dengan semangat Pancasila, seperti yang dibahas oleh Hefner (2018).
Implikasi dan Peran Generasi Milenial
Generasi milenial Indonesia memiliki peran krusial dalam menjaga relevansi dan vitalitas Pancasila di era modern. Sebagai generasi yang tumbuh di tengah perkembangan teknologi dan globalisasi, milenial memiliki tanggung jawab unik untuk menjembatani nilai-nilai tradisional Pancasila dengan tuntutan zaman yang terus berubah. Berikut adalah beberapa implikasi dan peran penting yang dapat dimainkan oleh generasi milenial dalam konteks Pancasila:
- Reinterpretasi Nilai Pancasila: Generasi milenial perlu melakukan pemaknaan ulang terhadap nilai-nilai Pancasila agar tetap relevan dengan konteks kekinian, tanpa menghilangkan esensi dasarnya. Latif (2018) menegaskan bahwa reinterpretasi Pancasila, bukan berarti mengubahnya, melainkan menemukan cara baru untuk mengaplikasikan prinsip-prinsipnya dalam kehidupan modern. Misalnya, dalam era digital, prinsip "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" dapat diinterpretasikan dalam konteks pemerataan akses teknologi dan informasi. Milenial dapat mengajukan ide-ide segar tentang bagaimana nilai-nilai Pancasila dapat diterapkan dalam isu-isu kontemporer seperti keberlanjutan lingkungan, kesetaraan gender, atau ekonomi digital. Pemaknaan ulang ini penting untuk memastikan bahwa Pancasila tetap menjadi panduan yang hidup dan bermakna bagi generasi baru, bukan sekadar slogan yang dihafalkan tanpa pemahaman mendalam.
Inovasi Berlandaskan Pancasila: Memanfaatkan kemajuan teknologi dan kreativitas untuk mengembangkan inovasi yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila merupakan peran penting generasi milenial. Ini bisa berupa pengembangan aplikasi mobile yang mempromosikan gotong royong digital, platform e-commerce yang mendukung UMKM lokal sebagai wujud keadilan ekonomi, atau sistem pendidikan online yang menjangkau daerah terpencil untuk mewujudkan keadilan sosial. Inovasi berbasis Pancasila juga bisa diwujudkan dalam bentuk solusi teknologi untuk mengatasi masalah sosial, seperti aplikasi pelaporan korupsi atau platform diskusi lintas agama untuk memperkuat toleransi. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam inovasi teknologi, milenial dapat membuktikan bahwa ideologi negara ini tetap relevan dan dapat menjawab tantangan zaman (Adinda, S., & Asbari, 2022).
Menjadi Agen Persatuan: Di tengah meningkatnya polarisasi masyarakat, generasi milenial memiliki potensi besar untuk menjadi jembatan yang mempersatukan berbagai kelompok. Dengan keterampilan digital dan pemahaman lintas budaya yang umumnya lebih baik, milenial dapat memfasilitasi dialog antar kelompok yang berbeda pandangan(Adinda, S., & Asbari, 2022). Ini bisa diwujudkan melalui inisiatif seperti forum diskusi online yang mempromosikan pertukaran ide secara damai, kampanye sosial media yang menekankan keberagaman Indonesia, atau proyek kolaboratif yang melibatkan berbagai komunitas. Milenial juga dapat aktif dalam gerakan melawan hoaks dan ujaran kebencian di media sosial, yang sering menjadi pemicu perpecahan. Dengan menjadi contoh dalam membangun komunikasi yang konstruktif dan inklusif, generasi ini dapat membantu meredam ketegangan sosial dan memperkuat persatuan bangsa sesuai dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Diplomasi Budaya: Memperkenalkan nilai-nilai Pancasila ke dunia internasional melalui berbagai platform digital dan media sosial adalah peran yang sangat penting bagi generasi milenial. Dengan konektivitas global yang dimiliki, milenial Indonesia dapat menjadi duta budaya yang efektif, menampilkan bagaimana Pancasila menjadi landasan kehidupan berbangsa yang harmonis dalam keberagaman (Hoon, 2017). Ini bisa dilakukan melalui konten kreatif di media sosial, blog, vlog, atau podcast yang menggambarkan penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Milenial juga dapat aktif dalam forum internasional online, berbagi pengalaman Indonesia dalam mengelola keberagaman melalui Pancasila. Diplomasi budaya semacam ini tidak hanya meningkatkan citra positif Indonesia di mata dunia, tetapi juga memperkuat pemahaman dan apresiasi terhadap Pancasila di kalangan generasi muda Indonesia sendiri.
Kritis dan Bijak: Mengembangkan kemampuan berpikir kritis untuk menyaring informasi dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila adalah keterampilan vital yang perlu dikuasai generasi milenial. Di era informasi yang berlimpah dan beragam ideologi yang masuk, kemampuan untuk menganalisis secara kritis dan memilah informasi menjadi sangat penting. Milenial perlu mengasah kemampuan literasi digital dan literasi media untuk dapat mengenali berita palsu, propaganda, atau ideologi ekstrem yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila (Mukhlis & Rahayu, 2023). Ini bisa dilakukan melalui partisipasi dalam workshop literasi digital, diskusi kelompok tentang isu-isu kontemporer, atau bahkan mengembangkan platform edukasi online tentang pemikiran kritis. Dengan kemampuan berpikir kritis, generasi milenial tidak hanya dapat melindungi diri dari pengaruh negatif, tetapi juga menjadi agen aktif dalam menyebarkan pemahaman yang benar tentang Pancasila dan nilai-nilainya.
Melalui peran-peran ini, generasi milenial dapat menjadi garda terdepan dalam menjaga relevansi dan vitalitas Pancasila di era modern, memastikan bahwa ideologi negara ini tetap menjadi panduan yang bermakna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Â
Kesimpulan
Hari Kesaktian Pancasila memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar peringatan sejarah; ia merupakan momen penting bagi generasi milenial untuk merenungkan dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan modern yang kompleks. Upaya menjaga relevansi Pancasila membutuhkan penafsiran baru yang tetap mempertahankan inti ajarannya. Sejalan dengan hal ini, inovasi yang berlandaskan Pancasila menjadi kunci dalam menghadapi tantangan era digital. Generasi milenial memiliki potensi besar untuk menjadi penghubung yang mempersatukan di tengah masyarakat yang semakin terpecah belah. Dalam konteks global, diperlukan upaya memperkenalkan nilai-nilai Pancasila ke dunia internasional melalui berbagai platform digital. Selain itu, pengembangan kemampuan berpikir kritis di kalangan milenial menjadi sangat penting dalam menjaga keutuhan Pancasila di era informasi yang sangat cepat berubah. Dengan menggabungkan pemahaman yang mendalam dan penerapan yang kreatif, generasi milenial dapat menjadi pelopor dalam mempertahankan kebermaknaaan dan "kesaktian" Pancasila di era kontemporer. Mereka berperan penting dalam menghubungkan nilai-nilai tradisional dengan tuntutan modernitas, serta meneguhkan Pancasila sebagai pandangan hidup yang tetap relevan dan tanggap terhadap perubahan zaman.
References
Adam, A. W. (2009). Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa (4th ed.). Sinar Grafika.
Adinda, S., & Asbari, M. . (2022). Pancasila as the Industrial Revolution 4.0 Paradigm. Journal of Information Systems and Management (JISMA), 1(6), 35--38. https://doi.org/https://doi.org/10.4444/jisma.v1i6.211
Darmaputera, E. (1988). Pancasila and The Search for Identity and Modernity In Indonesian Society. E.J. Brill.
Hefner, R. W. (2018). Routledge Handbook of Contemporary Indonesia (R. W. Hefner (Ed.)). Routledge. https://doi.org/10.4324/9781315628837
Hoon, C.-Y. (2017). Putting Religion into Multiculturalism: Conceptualising Religious Multiculturalism in Indonesia. Asian Studies Review, 41(3), 476--493. https://doi.org/10.1080/10357823.2017.1334761
Kaelan. (2018). NEGARA KEBANGSAAN PANCASILA: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya (1th ed.). Paradigma.
Latif, Y. (2019). NEGARA PARIPURNA: Historisitas,Rasionalitas,dan Aktualitas Pancasila (7th ed.). Gramedia Pustaka Utama.
Latif, Y. (2018). The Religiosity, Nationality, and Sociality of Pancasila: Toward Pancasila through Soekarno's Way. Studia Islamika, 25(2), 207--245. https://doi.org/10.15408/sdi.v25i2.7502
Lestari, Eta Yuni; Janah, Miftahul; Wardanai, P. K. (2019). Menumbuhkan Kesadaran Nasionalisme Generasi Muda Di Era Globalisasi Melalui Penerapan Nilai-Nilai Pancasila. Adil Indonesia Jurnal, 1(1), 20--27. https://jurnal.unw.ac.id/index.php/AIJ/article/view/139/133
Lim, M. (2017). Freedom to hate: social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in Indonesia. Critical Asian Studies, 49(3), 411--427. https://doi.org/10.1080/14672715.2017.1341188
Menchik, J. (2016). Islam and Democracy in Indonesia. Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/CBO9781316344446
Mukhlis, S., & Rahayu, Y. S. (2023). Kemampuan Literasi Digital: Penguatan Pendidikan Karakter Sebagai Upaya Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0. Dikoda: Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar, 1(01), 1--9. https://doi.org/10.37366/jpgsd.v1i01.2454
Naafs, S., & White, B. (2012). Intermediate Generations: Reflections on Indonesian Youth Studies. The Asia Pacific Journal of Anthropology, 13(1), 3--20. https://doi.org/10.1080/14442213.2012.645796
Parker, L., & Nilan, P. (2013). Adolescents in Contemporary Indonesia. Routledge. https://doi.org/10.4324/9780203522073
Rahardjo, W., Qomariyah, N., Andriani, I., Hermita, M., & Zanah, F. N. (2020). Adiksi Media Sosial pada Remaja Pengguna Instagram dan WhatsApp: Memahami Peran Need Fulfillment dan Social Media Engagement. Jurnal Psikologi Sosial, 18(1), 5--16. https://doi.org/10.7454/jps.2020.03
Supratman, L. P. (2018). Penggunaan Media Sosial oleh Digital Native. Jurnal ILMU KOMUNIKASI, 15(1), 47--60. https://doi.org/10.24002/jik.v15i1.1243
Suryadi. (2021). Nasionalisme Dan Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila Melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Jurnal Mubtadiin: Pemikiran Dan Ilmu Agama Islam, 7(1), 64--81. https://journal.an-nur.ac.id/index.php/mubtadiin/article/view/53/42
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H