Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kompasiana, Presiden Jokowi, dan Omong Kosong

4 November 2022   16:06 Diperbarui: 4 November 2022   16:14 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa Betah di Kompasiana?

Apabila ada yang bertanya, "Mengapa masih betah menulis di Kompasiana dalam waktu 13 tahun?"

Jawaban saya, "Tidak tahu."

Mungkin ada yang berpikir ini jawaban dungu. Tak masalah. Karena bagi saya ini  justru jawaban cerdas. Ketaktahuan adalah sumber mengetahui. Masa?

Seperti halnya sampai saat ini setiap hari saya membuka laman Kompasiana. Walaupun tidak setiap hari menulis artikel, paling tidak menulis atau membalas komentar. Kalaupun tidak menulis masih bisa membaca dan memberi nilai.

Kalau  bertanya, "Mengapa setiap hari betah membuka laman Kompasiana?"

Sebenarnya saya juga akan menjawab, "Tidak tahu."

Dungu lagi?

Namun, ketaktahuan kali ini karena bingung. Setiap hari membuka laman Kompasiana karena ketagihan atau kealamian.

Oh, sebelum lupa saya akan memberi tahu bahwa saya gabung di Kompasiana sejak 22 Oktober 2009. Sebelumnya lebih aktif menulis di Blogdetik dan Wikimu yng sudah almarhum.

Kembali ke soal ketagihan dan kealamian. Apa bedanya? Ketagihan berbau negatif, sedangkan kealamian berbau positif.

Saking terlalu tipis bedanya, sehingga saya tidak bisa memastikan saya berada pada kondisi yang mana. Jadi, buat saya jawaban yang cerdas adalah tidak tahu. 

Yang saya tahu pasti melalui Kompasiana telah menjalin persahabatan dengan sesama penulis. Bahkan yang sudah lama tidak menulis di Kompasiana pun masih tetap saling berkomunikasi secara rutin.

Bertemu Pak Jokowi 

Yang pasti kali ini saya hendak memberi tahu buah manis dari  menulis di Kompasiana saya bisa mengenal begitu banyak orang. Dari orang biasa sampai yang luar biasa. Dari yang tinggal di dalam dan luar negeri. Bisa bertemu pula dengan mereka.

Tentu yang paling istimewa sebagai kompasianer adalah ketika tahun 2015 mendapat undangan ke Istana oleh Presiden Jokowi untuk makan siang. Tentu menghadirkan rasa bangga. Karena tidak setiap orang memiliki kesempatan ini.

Selain itu masih ada tokoh lain.

Seperti Pak Ahok bertemu dua kali dalam kapasitas sebagai wakil gubernur dan ketika naik jadi gubernur. Pak Ridwan Kamil, Pak Jusuf Kalla, dan Pak Anies Baswedan. Masih ada beberapa yang lupa.

Keistimewaan mendapat undangan ke istana boleh jadi karena kala itu aktif menulis tentang kiprah Pak Jokowi sejak jadi Gubernur DKI Jakarta. Lalu lanjut ketika naik menjadi presiden. Padahal sebelumnya bersama dengan beberapa kompasianer justru menjadi pendukung Pak Prabowo untuk jadi presiden pada 2014.

Bisa diundang ke istana oleh presiden tentu sesuatu yang tak pernah terbayangkan. Mimpi pun belum kesampaian. Yang istimewa lagi menjelang akhir acara, dalam hal ini saya juga yakin semua yang hadir pun tak berpikir kejadian ini.

Apa itu?

Foto bersama. Dalam pikiran saya paling kita akan foto bersama saja ramai-ramai. Karena tidak ada yang boleh bawa kamera atau gawai waktu itu. Walaupun ada yang lolos dengan membawa kamera yang ada di jam tangan.

Pak Jokowi justru meminta foto bareng dengan kompasianer per  meja di depan. Satu meja terdiri dari 6 sampai 7 orang. Totalnya berapa meja saya tidak sempat hitung. 

Setelah itu, para kompasianer ternyata masih ada yang belum puas. Sebagian masih menyerbu Pak Jokowi tanpa sungkan minta tanda tangan di kertas undangan. Termasuk saya. Beruntung saya mendapatkan tanda tangan beliau. Karena tidak semua sempat ditandatangani.

Pak Jokowi masih berbaik hati, yang belum ditandatangani akan beliau tanda tangan di lain waktu. Urusan selanjutnya Admin Kompasiana yang atur. Termasuk hasil foto bersama Pak Jokowi. Kalau tidak salah semua hasil foto dikirim ke Dropbox.

Menurut kabar yang beredar foto bareng Pak Presiden itu banyak yang menjadikan pajangan di  dinding rumah dengan bangga. Termasuk saya. 

Nyaman Menulis Omong Kosong

Dalam perjalanan menulis tentu ada yang namanya proses. Dari tidak mengerti apa-apa tentang internet dan blog. Berawal hanya bisa meraba-raba dan mencoba sebisanya.

Untuk bisa tayang pun mengalami proses panjang pada saat itu. Tahun 2009. Yakni menulis di kertas dengan susah payah, tak heran lebih banyak coretan daripada tulisan yang jadi.

Setelah itu baru salin di gawai yang layarnya masih kecil. Kemudian kirim ke email. Selanjutnya ke warnet baru salin tempel ke blog. Bayangkan.

Sepertinya semesta mendukung saya mendapat pekerjaan di daerah yang di kantor tersedia komputer dan jaringan internet yang bisa bebas saya pakai. Seringnya malam hari. Kadang bisa sampai pagi. Walaupun katanya kalau malam suka ada yang seram-seram saya takpeduli lagi.

Menulis di Kompasiana menjadikan belajar banyak hal tentang menulis dari mereka yang berpengalaman dan pakar. Menyerap ilmu dari mereka sambil mengembangkan potensi diri.

Setiap individu pasti memiliki kelebihan dan keunikan sendiri. Tidak perlu menjadi seperti siapa. Demikian juga dalam hal menulis.

Sekitar dua tahunan ini eksis menulis tentang omong kosong berawal dari ide yang muncul seketika. Lama-lama terasa nyaman. Kemudian saya baru sadar ternyata cukup banyak juga tulisan lama saya yang berbau "omong kosong".

Sebelumnya pernah menulis seri "Si Kate dengan HP Kesayangannya" dan ada ide menulis seri "Menertawakan Diri Sendiri".

Pernah suatu waktu menantang diri sendiri konsisten menulis  judul dengan satu kata. Pernah juga hendak mendalami puisi pendek Haiku. Mencoba menulis diari yang gaya obrolan, menulis cerpen. Dll.

Setelah mencoba, pada akhirnya lebih banyak menulis puisi tentang omong kosong yang sangat menantang dan membuat nyaman. Padahal saya termasuk yang tidak suka puisi sebelumnya. Kecuali menulis puisi-puisi cinta picisan semasa remaja.

Ada hal yang paling berbeda saat ini dengan sebelumnya. Apabila sebelumnya menulis itu seakan untuk kejar tayang dan embel-embel terpopuler atau nilai tertinggi. Oleh sebab itu rada-rada  risih bila kembali membacanya. Banyak sekali kesalahan eja dan penggunaan kata.

Sementara saat ini selesai menulis tidak langsung menayangkan. Dibaca kembali sampai berkali-kali. Ibarat buah itu diperam dahulu sampai matang. Itupun masih bisa ada yang salah. Paling tidak sudah mencoba yang terbaik.

Yang paling utama tujuannya adalah untuk menjaga rasa. Ibarat menjual makanan untuk meyakinkan rasanya sudah pas, maka  diri sendiri yang merasakan dahulu. 

Tentu semua perlu proses. Masing-masing punya perjalanannya untuk mencapai tujuan. Seperti menulis omong kosong, agar hidup tidak menjadi kosong. Becermin dan berefleksi melalui setiap kata. 

Saya menulis dengan bahagia, berharap yang membaca pun bahagia. Berharap kata-kata yang ada bisa menjadi percikan cahaya.

@diari, 04 November 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun