Kebajikan yang tulus itu menyentuh. Menggugah jiwa untuk bercermin diri. Merasa malu akan kebajikan diri sendiri.Â
Kita  bisa membalas kebajikan orang lain dengan doa dan harapan. Karena ini pun sebuah kebajikan. Ketulusan adalah kebajikan.
Jangan berpikir diri sendiri sudah baik, sesungguhnya ada yang lebih baik dan tulus. Hal ini mestinya menyadarkan diri untuk melakukan kebajikan dengan lebih baik lagi. Bukan berpuas diri.
Kebajikan bukan sekadar untuk jadi cerita, tetapi jadikan sebagai permata.Â
Sebenarnya saya tak berniat menulis pengalaman ini, walaupun berkesan dan menyentuh. Karena ingat bahwa melakukan kebaikan itu cukup sendiri yang  tahu.
Jangan ceritakan sekalipun kepada rumput yang bergoyang. Takutnya ia pun akan bercerita kepada angin malam.
Lalu angin malam berbisik pada pohon-pohon. Hingga yang tahu jadi satu hutan.
Akhirnya bisa dianggap menjadi pameran kebajikan. Tentu tidak enak menjadi omongan.
Namun, tiba-tiba ada bisikan bahwa kebajikan boleh dikisahkan, agar bertumbuh menjadi kebajikan lagi. Bukan disimpan dalam laci.
Jadi, yang perlu menjadi pertanyaan adalah niat apa yang ada di dasar hati ketika bercerita.
Begini ceritanya.
Malam itu saya keluar rumah sendirian karena hendak membeli sesuatu. Saya berpapasan dengan seorang ibu yang berjalan tertatih-tatih.
Sepertinya hendak pulang setelah mengamen. Karena saya melihat alat musik yang dibawa.
Saat melewati saya tidak punya perasaan apa-apa. Biasa saja.
Setelah berapa jauh seperti ada yang menegur. Ke mana perasaanmu?
Perasaan apa nih? Oh, ibu-ibu itu.
Spontan saya berputar arah dengan perasaan bersalah. Berhenti di depan ibu itu. Memberikan sedikit uang.
Saat saya memberikan  uang, wanita tua ini memegang bahu saya. Ia menatap tajam ke wajah saya, tetapi penuh kelembutan.
Saya balas menatap dalam-dalam seakan hendak menyelami hatinya. Ada ketulusan di sana. Itu yang saya rasakan. Tersentuh.
Pasti akan menjadi adegan yang keren bila ada adegan gerak lambatnya.
Ia berkata, "Terima kasih, semoga Bapak sehat dan panjang umur."
Kata-kata yang biasa atau sudah umum, bukan?
Namun, saya yang mengalami, merasakan atau mendengar langsung kata-kata ini begitu menggetarkan hati. Ada keharuan.
Terpikir. Saya hanya memberikan uang tak seberapa, tetapi  mendapatkan rezeki yang luar biasa. Berupa doa yang saya rasakan sedemikian tulus.
Di balik rasa terharu saya menemukan rasa malu. Di balik rasa bangga, merasa tidak ada apa-apa.
Saya hanya memberi sedikit, tetapi menerima balasan demikian besar. Saya hanya merasa ketulusan saya masih tak seberapa.
Buktinya hanya mampu memberikan sebagian kecil dari isi dompet.
Kadang kita merasa sudah banyak berbuat kebajikan. Setiap hari ada melakukan.
Adakah pernah bertanya, "Apakah memberi sudah cukup dalam ketulusan dan sebanding dengan kemampuan?"
Kadang tanpa kita sadar hanya mampu memberikan minimal dari kelebihan yang dimiliki.
Sebaliknya ada orang yang mampu memberikan secara maksimal dari kekurangannya.
Jadi, dari ibu itu justru saya mendapat pemelajaran karena lebih mampu memberikan dari kekurangannya dengan doa, harapan, dan sebuah tatapan penuh ketulusan. Yang belum tentu mampu saya lakukan.
Inilah kitab suci kehidupan yang selalu terhampar untuk dibaca. Yang belum tentu bisa ditemukan ketika datang ke rumah ibadah yang megah.
Masalahnya ada mau atau tidak membaca dan menjadikan sebagai cermin kehidupan.
Tempat terbaik belajar tentang kebajikan adalah dalam kehidupan sehari-hari. Itulah yang layak menjadi rumah ibadah sejati.
Bukan ketika datang ke rumah ibadah mendengar tentang kebaikan lalu menyimpannya di hati.
Namun, kehidupan sehari-hari menjadi ladang menyemai kebajikan.
@cermindiri, 24 Juli 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H